Teori Etika, Peraturan Perundang-undangan, Peraturan Pemerintah, Peraturan Penteri, dan Lokal Wisdom
Oleh : Khoirul Anam Muawwan
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Menurut
Plato, manusia merupakan makhluk politik (Zoon Politicon). Sehingga
manusia berpolitik dalam kehidupannya. Hal ini dilakukan semata-mata untuk
mengatur tata kehidupan manusia. Jika tidak diatur dengan baik, maka kehidupan
manusia tidak akan berjalan. Terlebih-lebih aspek pendidikan yang menjadi
kebutuhan primer bagi manusia.
Di
dalam sebuah kehidupan tata negara, pendidikan merupakan hal yang sangat urgen.
Karena eksistensi pendidikan merupakan penentu jalannya roda kehidupan di suatu
negara. Misalnya, eksistensi sumber daya manusia yang baik sangat diperlukan
dalam mengatur sebuah kehidupan suatu negara. Sehingga dapat dilihat, jika
suatu negara mengalami kemajuan, maka dapat dipastikan akibat dari penerapan
proses pendidikan yang baik di negara tersebut. Berangkat dari permasalahan
tersebut maka peran pemerintah diperlukan dalam mengatur jalannya proses
pendidikan.
Di
Indonesia sendiri pemerintah telah mengatur jalannya proses pendidikan.
Pemerintah mengaturnya di dalam Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem
Pendidikan Nasional, di dalam Peraturan Pemerintah No. 19 Tahun 2005 Tentang
Standar Nasional Pendidikan, dan Peraturan Pemerintah No. 17 Tahun 2010 Tentang
Pengelolaan dan Penyelenggaraan Pendidikan. Tetapi yang menjadi sebuah
pertanyaan, apakah proses pendidikan di Indonesia sesuai dengan harapan masyarakat
Indonesia itu sendiri dan sesuai dengan etika pendidikan? Pertanyaan tersebut
akan di jawab dalam makalah ini.
B. Rumusan
Masalah
1. Bagaimana
teori etika pendidikan?
2. Bagaimana
penjelasan kurikulum yang diatur dalam Undang-Undang R.I. No. 20 Tahun 2003
Tentang SISDIKNAS?
3. Bagaimana
penjelasan kurikulum dan pendidikan berbasis keunggulan lokal dalam Peraturan
Pemerintah No. 19 Tahun 2005 Tentang Standar Nasional Pendidikan dan Peraturan
Pemerintah No. 17 Tahun 2010 Tentang Pengelolaan dan Penyelenggaraan
Pendidikan?
4. Bagaimana
konsep local wisdom (kearifan lokal) dalam pendidikan?
5. Bagaimana
analisis peraturan perundang-undangan dan Local Wisdom menurut etika pendidikan
C. Tujuan
1. Untuk
mengetahui dan memahami teori etika pendidikan.
2. Untuk
mengetahui dan memahami penjelasan kurikulum yang diatur dalam Undang-Undang
R.I. No. 20 Tahun 2003 Tentang SISDIKNAS.
3. Untuk
mengetahui dan memahami penjelasan kurikulum dan pendidikan berbasis keunggulan
lokal dalam Peraturan Pemerintah No. 19 Tahun 2005 Tentang Standar Nasional
Pendidikan dan Peraturan Pemerintah No. 17 Tahun 2010 Tentang Pengelolaan dan
Penyelenggaraan Pendidikan.
4. Untuk
mengetahui dan memahami konsep local wisdom (kearifan lokal) dalam
pendidikan.
5. Untuk
mengetahui dan memahami analisis peraturan perundang-undangan dan Local
Wisdom menurut etika pendidikan.
D. Manfaat
Mahasiswa
dapat menganalisis kebijakan-kebijakan yang berkaitan dengan kurikulum dan
pendidikan berbasis keunggulan lokal yang terdapat dalam Undang-Undang R.I. No.
20 Tahun 2003 tentang SISDIKNAS, Peraturan Pemerintah No. 19 Tahun 2005 tentang
Standar Nasional Pendidikan, dan Peraturan Pemerintah No. 17 Tahun 2010 tentang
Pengelolaan dan Penyelenggaraan Pendidikan.
BAB
II
PEMBAHASAN
A. Teori
Etika Pendidikan
1. Pengertian
Etika
Pengertian
etika sering disamakan dengan pengertian akhlak atau moral. Ada pula
ulama yang mengatakan bahwa akhlak merupakan etika Islam. Sedangkan,
kata etika sendiri berasal dari kata latin ethics, dalam bahasa Gerik: Ethikos
is a body of moral principles or values. Ethic arti sebenarnya
adalah kebiasaan. Namun, lambat laun pengertian etika berubah, seperti
sekarang. Etika ialah suatu ilmu yang membicarakan masalah perbuatan atau tingkah
laku manusia.[1]
Di
dalam buku kamus Istilah Pendidikan dan Umum, dinyatakan bahwa etika
adalah bagian filsafat yang mengajarkan tentang keluhuran budi (baik buruk).[2] Sedangkan dalam kamus umum bahasa Indonesia,
mengartikan etika dengan ilmu pengetahuan tentang asas-asas akhlak (moral).[3]
Dapat disimpulkan bahwa objek pembahsan dari etika ini adalah tingkah laku
manusia untuk menetapkan nilai, baik atau buruk. Dari sini dapat dipahami bahwa
objek pembahasan etika adalah tindakan-tindakan seseorang yang dapat diberikan
nilai baik atau buruk, yaitu perkataan atau perbuatan yang termasuk dala
kategori etika.
2. Macam-Macam
Etika
Manusia disebut etis,
ialah manusia secara utuh dan menyeluruh mampu memenuhi hajat hidupnya dalam
rangka asas keseimbangan antara kepentingan pribadi dengan pihak yang lainnya,
antara rohani dengan jasmaninya dan antara makhluk berdiri sendiri dengan
penciptanya.[4] Termasuk
didalamnya membahas nilai-nilai atau norma-norma yang dikaitkan dengan etika,
terdapat dua macam etika, yaitu:
a. Etika
Diskriptif.
Etika
deskriptif ini berbicara mengenai fakta apa adanya, yaitu mengenai nilai dan
pola perilaku manusia sebagai suatu fakta yang terkait dengan situasi dan
reliatas kongkret yang mempunyai potensi. Ia juga berbicara mengenai kenyataan
penghayatan nilai,tanpa menilai dalam suatu masyarakat, tentang sikap orang
dalam menghadapi hidup ini, dan tentang kondisi yang memungkinkan manusia
bertindak secara etis.[5]
Dapat disimpulkan bahwa etika deskriptif yaitu tentang penghayatan nilai atau
tanpa nilai dalam suatu masyarakat yang dikaitkan dengan kondisi tertentu yang
memungkinkan manusia bertindak secara etis.
b. Etika
Normatif.
Etika
normatif ini berbicara mengenai norma-norma yang menuntun tingkah laku manusia,
serta memberi penilian dan imbauan kepada manusia untuk bertindak sebagaimana
seharusnya berdasarkan norma-norma.[6]
Jadi, etika normatif merupakan norma-norma yang dapat menuntun agar manusia
bertindak secara baik dan menghindarkan hal-hal yang buruk, sesuai dengan
kaidah atau norma yang disepakati dan yang berlaku di masyarakat.
3. Teori
Etika Pendidikan
Teleology
a. Satu
tindakan dianggap secara moral benar atau bisa diterima di dalam pendidikan
jika itu menghasilkan keinginan dari
sebagian orang, yaitu pengetahuan, pertumbuhan karier, suatu kepentingan
atau kegunaan diri dan masyarakat.
b. Menaksir
nilai moral dari suatu tingkah laku dengan memperhatikan akibat-akibatnya (consequentialism)
Dua Pendekatan Teleology :
a.
Egoisme: tingkah laku
bisa diterima atau benar dengan maksimalkan
kepentingan diri sendiri, terkait dengan akibat-akibat dan alternatif solusi
yang dapat menyumbang dan menambah
manfaat kepada kepentingan diri sendiri.[7]
Suatu kebijakan dalam dunia pendidikan dianggap benar jika sesuai dengan
manfaat yang diharapkan oleh setiap individu.
b. Utilitarianisme:
tingkah laku dianggap benar jika dapat bermanfaat kepada kepentingan publik.
Suatu kebijakan dalam dunia pendidikan dianggap benar jika sesuai dengan
kepentingan masyarakat.
B. Undang-Undang
R.I. No. 20 Tahun 2003 Tentang SISDIKNAS
a. Pasal
1 ayat 1 pendididikan adalah usaha sadar dan terncana untuk mewujudkan suasana
belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan
potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri,
kepribadian, kecerdasan akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan
dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.[8]
b. Pasal
1 ayat 19: kurikulum adalah seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan,
isi, dan bahan pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan
kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu.[9]
c. Pasal
36 ayat 2: kurikulum pada semua jenjang dan jenis pendidikan dikembangkan
dengan prinsip diversifikasi sesuai dengan satuan pendidikan, potensi daerah,
dan peserta didik.[10]
d. Pasal
36 ayat 3: kurikulum disusun sesuai dengan jenjang pendidikan dalam kerangka
Negara Kesatuan Republik Indonesia dengan memperhatikan (a) peningkatan iman
dan takwa; (b) peningkatan akhlak mulia; (c) peningkatan potensi, kecerdasan,
dan minat peserta didik; (d) keragaman potensi daerah dan lingkungan; (e)
tuntutan pembangunan daerah dan nasional; (f) tuntutan dunia kerja; (g)
perkembangna ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni; (h) agama; (i) dinamika
perkembangna global; (j) persatuan nasional dan nilai-nilai kebangsaan.[11]
e. Pasal
37 ayat 1: kurikulum pendidikan dasar dan menengah wajib memuat: (a) pendidikan
agama; (b) pendidikan kewarganegaraan; (c) bahasa; (d) matematika; (e) ilmu
pengetahuan alam; (f) ilmu pengetahuan sosial; (g) seni dan budaya; (h) pendidikan
jasmani dan olahraga; (i) keterampilan/kejuruan; (j) muatan lokal.[12]
C. Peraturan
Pemerintah
1. Peraturan
Pemerintah No. 19 Tahun 2005 Tentang Standar Nasional Pendidikan.
a. Pasal
14 ayat 1: kurikulum untuk SMP/MTs/SMPLB atau bentuk lain yang sederajat dan
kurikulum untuk SMA/MA/SMALB atau bentuk lain yang sederajat dapat memasukkan
pendidikan berbasis keunggulan lokal.
b. Pasal
14 ayat 2: pendidikan berbasis keunggulan lokal sebagaimana pada ayat (1) dapat
merupakan bagian dari pendidikan kelompok mata pelajaran agama dan akhlak
mulia, pendidikan kelompok mata pelajaran kewarganegaraan dan kepribadian,
pendidikan kelompok mata pelajaran ilmu pengetahuan dan teknologi, pendidikan
kelompok mata pelajaran estetika, atau kelompok mata pelajaran pendidikan
jasmani, olah raga, dan kesehatan.
c. Pasal
14 ayat 3: pendidikan berbasis keunggulan lokal sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dan (2) dapat diperoleh peserta didik dari satuan pendidikan yang
bersangkutan atau dari satuan pendidikan non formal yang sudah memperoleh akreditasi.
d. Pasal
17 ayat 1: kurikulum tingkat satuan pendidikan SD/MI/SDLD, SMP/MTs/SMPLB,
SMA/MA/SMALB, SMK/MAK, atau bentuk lain yang sederajat dikembangkan sesuai
dengan satuan pendidikan, potensi daerah/karakteristik daerah, sosial budaya
masyarakat setempat, dan peserta didik.
Pada tanggal 7 Mei 2013
lalu, Presiden Republik Indonesia, Susilo Bambang Yudhoyono, telah
menandatangani sebuah peraturan baru yaitu Peraturan Pemerintah No. 32 Tahun 2013 tentang
Perubahan Atas Peraturan Pemerintah No. 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional
Pendidikan. Beberapa pasal dalam PP No. 19 tahun 2005 dihapus
termasuk pasal 14 dan 17 sebagaimana yang tercantum di atas. Dalam Peraturan
Pemerintah No. 32 Tahun 2013 ini di antara BAB XI dan BAB XII
disisipkan 1(satu) bab, yakni BAB XIA yang secara khusus berisi
pasal-pasal yang mengatur tentang KURIKULUM.[13]
2.
Peraturan Pemerintah No. 32 Tahun
2013 (Perubahan Atas Peraturan Pemerintah No. 19 Tahun 2005)
a.
Pasal
77A ayat (1): Kerangka Dasar Kurikulum berisi landasan filosofis, sosiologis,
psikopedagogis, dan yuridis sesuai dengan Standar Nasional Pendidikan.
b.
Pasal
77A ayat (2): Kerangka Dasar Kurikulum sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
digunakan sebagai: a. acuan dalam
Pengembangan Struktur Kurikulum pada tingkat nasional; b. acuan dalam
Pengembangan muatan lokal pada tingkat daerah; dan c. pedoman dalam Pengembangan Kurikulum
Tingkat Satuan Pendidikan.
c.
Pasal
77B ayat (7): Struktur Kurikulum untuk satuan pendidikan menengah terdiri atas:
a. muatan umum; b. muatan peminatan akademik; c. muatan peminatan kejuruan; dan d. muatan pilihan lintas minat/pendalaman
minat.
d.
Pasal
77B ayat (9): Muatan umum sebagaimana dimaksud pada ayat (6) dan ayat (7) huruf
a terdiri atas: a. muatan nasional untuk
satuan pendidikan; dan b. muatan lokal
untuk satuan pendidikan sesuai dengan potensi dan keunikan lokal.
e.
Pasal
77H ayat (1): Struktur Kurikulum pendidikan dasar berisi muatan Pembelajaran
atau mata pelajaran yang dirancang untuk mengembangkan Kompetensi spiritual
keagamaan, sikap personal dan sosial, pengetahuan, dan keterampilan.
f.
Pasal
77H ayat (2): Struktur Kurikulum pendidikan dasar terdiri atas Struktur
Kurikulum: a. SD/MI, SDLB atau bentuk
lain yang sederajat; dan b. SMP/MTs, SMPLB atau bentuk lain yang sederajat.
g.
Pasal
77I ayat (1): Struktur Kurikulum SD/MI, SDLB atau bentuk lain yang sederajat
terdiri atas muatan: a) pendidikan
agama; b) pendidikan kewarganegaraan; c) bahasa; d) matematika; e) ilmu
pengetahuan alam; f) ilmu pengetahuan sosial; g) seni dan budaya; h) pendidikan
jasmani dan olahraga; i) keterampilan/kejuruan; dan j) muatan lokal.
h.
Pasal
77N ayat (1): Muatan lokal untuk setiap satuan pendidikan berisi muatan dan
proses Pembelajaran tentang potensi dan keunikan lokal.
i.
Pasal
77N ayat (2): Muatan lokal dikembangkan dan dilaksanakan pada setiap satuan
pendidikan.
j.
Pasal
77P ayat (3): Pemerintah daerah provinsi melakukan koordinasi dan supervisi
pengelolaan muatan lokal pada pendidikan menengah.
k.
Pasal
77P ayat (4): Pemerintah daerah kabupaten/kota melakukan koordinasi dan
supervisi pengelolaan muatan lokal pada pendidikan dasar.
l.
Pasal
77P ayat (5): Pengelolaan muatan lokal sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan
ayat (4) meliputi penyiapan, penyusunan, dan evaluasi: a. dokumen muatan lokal;
b. Buku Teks Pelajaran; dan c. Buku Panduan Guru.
m. Pasal 77P ayat (6): Dalam
hal seluruh kabupaten/kota pada 1 (satu) provinsi sepakat menetapkan 1 (satu)
muatan lokal yang sama, koordinasi dan supervisi pengelolaan Kurikulum pada
pendidikan dasar dilakukan oleh pemerintah daerah provinsi.
n.
Pasal
77P ayat (7): Satuan pendidikan mengelola:
a. muatan lokal; b. Kurikulum
Tingkat Satuan Pendidikan; dan c.
rencana pelaksanaan Pembelajaran dan pelaksanaan Pembelajaran.
3. Peraturan
Pemerintah No. 17 Tahun 2010 Tentang Pengelolaan dan Penyelenggaraan
Pendidikan.
a. Pasal
155: satuan pendidikan berbasis keunggulan lokal merupakan satuan pendidikan
yang telah memenuhi Standar Nasional Pendidikan dan diperkaya dengan keunggulan
kompetitif dan atau komparatif daerah.
b. Pasal
156 ayat 2: pemerintah kabupaten/kota memfasilitasi penyelenggaraan satuan
pendidikan berbasis keunggulan lokal pada jenjang pendidikan dasar dan menengah
yang diselenggarakan masyarakat.
c. Pasal
157 ayat 1: keunggulan lokal sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 156
dikembangkan berdasarkan keunggulan kompetitif dan atau komparatif daerah di
bidang seni, pariwisata pertanian, kelautan, perindustrian, dan bidang lain.
d. Pasal
157 ayat 2: satuan pendidikan dasar dan menengah yang dikembangkan menjadi
berbasis keunggulan lokal harus diperkaya dengan muatan pendidikan kejuruan
yang terkait dengan potensi ekonomi, sosial, dan atau budaaya setempat yang
merupakan keunggulan kompetitif dan atau komparatif daerah.
e. Pasal
158 ayat 2: pemerintah, pemerintah provinsi, pemerintah kabupaten/kota, atau
masyarakat dapat mendirikan sekolah/madrasah baru yang berbasis keunggulan
lokal dengan persyaratan memenuhi: (1) Standar Nasional Pendidikan sejak
sekolah/madrasah berdiri, dan (2) pedoman penjaminan mutu sekolah/madrasah
berbasis keunggulan lokal yang ditetapkan oleh menteri sejak sekolah/madrasah
berdiri.
D. Peraturan
Menteri
Peraturan Menteri Pendidikan Nasional nomor
63 Tahun 2009 Tentang Sistem Penjaminan Mutu
Pendidikan.
a.
Pasal 10 ayat (1): Penjaminan mutu pendidikan oleh satuan atau program
pendidikan ditujukan untuk memenuhi tiga tingkatan acuan mutu, yaitu: a) SPM; b)
SNP; dan c) Standar mutu pendidikan di atas SNP.
b.
Pasal 10 ayat (2): Standar mutu pendidikan di atas SNP sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dapat berupa: a) Standar mutu di atas SNP yang berbasis
keunggulan lokal, b) Standar mutu di atas SNP yang mengadopsi dan/atau
mengadaptasi standar internasional tertentu.
c.
Pasal 11 ayat (4): Standar mutu di atas SNP yang berbasis keunggulan lokal
dapat dirintis pemenuhannya oleh satuan pendidikan yang telah memenuhi SPM dan sedang
dalam proses memenuhi SNP.
E. Local
Wisdom (Kearifan Lokal)
1. Pengertian
Local Wisdom
Kearifan lokal atau sering disebut local wisdom
dapat diartikan sebagai usaha manusia dengan menggunakan akal budinya (kognisi)
untuk bertindak dan bersikap terhadap sesuatu, objek, atau peristiwa yang
terjadi dalam ruang tertentu. Pengertian tersebut disusun secara etimologi, di
mana wisdom dipahami sebagai kemampuan seseorang atau pribadi dalam
menggunakan akal pikirannya dalam bertindak atau bersikap sebagai hasil
penilaian terhadap sesuatu, objek, atau peristiwa yang terjadi. Sebagai sebuah
istilah wisdom juga sering diartikan sebagai wujud dari makna
“kearifan/kebijaksanaan”.
Local sendiri juga bisa dimaknai secara spesifik
menunjuk pada ruang interaksi terbatas dengan sistem nilai yang terbatas pula.
Sebagai ruang interaksi yang sudah didesain sedemikian rupa yang di dalamnya
melibatkan suatu pola-pola hubungan antara manusia dengan manusia atau manusia
dengan lingkungan fisiknya. Didalamnya terjadi pola interaksi yang sudah
terdesain dalam sebuah setting kehidupan yang sudah terbentuk secara
langsung akan memproduksi nilai-nilai. Nilai-nilai tersebut yang akan menjadi
landasan hubungan mereka atau menjadi acuan tingkah-laku mereka.
Adapun pendidikan
berbasis keunggulan lokal adalah usaha untuk mewujudkan pembelajaran yang
memanfaatkan keunggulan lokal dalam aspek ekonomi, budaya, teknologi informasi
dan komunikasi, bahasa, ekologi, dan lain-lain. Yang semuanya bermanfaat bagi
pengembangan potensi peserta didik.
2. Model
Pendidikan Berbasis Keunggulan Lokal
Pendidikan merupakan proses belajar mengajar yang dapat
menghasilkan perubahan di segala hal termasuk perilaku, sikap dan perubahan
intelektual. Dengan proses pendidikan membantu mencapai kedewasaan pola pikir
dan berinteraksi dengan lingkungannya. Dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi yang melaju dengan cepat, yang cenderung tak terkendali, bahkan
hampir-hampir tak mampu dielakkan oleh dunia pendidikan.
Seiring dengan perubahan dunia yang begitu mencekam dan
telah di dominasi oleh sistem kapitalisme, menyebabkan dehumanisasi sebab
meletakkan pendidikan sebagai komoditas untuk mengakumulasi kapital dan
mendapatkan keuntungan.[14]
Dalam hal ini, sistem pendidikan di era kekinian lebih banyak dibangun atas
dekrit kebijakan yang mereproduksi ideologi penguasa kaum borjuis, bukan lahir
dari “rahim” kesadaran pembangunan masyarakat baru secara “revolusioner” dan
“visioner”. Sebagai contoh, banyak sekolah yang telah melupakan potensi
kearifan lokal yang ada disekitar sekolah tersebut. Sehingga nilai-nilai yang
ada di daerah sekolah itu terlupakan. Sehingga output dari sekolah tersebut
memiliki nilai yang tidak sesuai dengan harapan daerah tersebut. Melihat
realitas pendidikan yang cenderung liberatif diperlukan dasar penanaman nilai
yang kuat untuk membentengi moralitas peserta didik.
Menurut pemakalah, sesuai dengan penjelasan di atas,
kearifan lokal merupakan solusi bagi permasalahan diatas dan merupakan sesuatu
yang tidak dapat dipisahkan dari proses pendidikan. Karena pendidikan yang
sejati berfungsi membangun karakter individu agar sesuai dengan nilai-nilai
kearifan sehingga sesuai dengan tradisi kebudayaan disekitarnya. Oleh karena
itu perlu dikaji ulang untuk kembali kepada makna, esensi, dan filosofi
pendidikan nasional itu sendiri, karena pendidikan tidak lepas dari
pembelajaran yang mampu menghidupkan kreatifitas, sehingga mampu menjadi
representasi terampil dan aktif.
Disinilah yang menjadi titik tekan dari pendidikan sendiri,
sehingga apa yang diharapkan agar terjadi proses transformasi dan akulturasi
ilmu dan kebudayaan dapat berjalan dan bersanding. Pendidikan dan kebudayaan memiliki
keterkaitan yang sangat kuat. Pendidikan tidak dapat dipisahkan dengan
kebudayaan. Tanpa proses pendidikan tidak mungkin kebudayaan itu berlangsung
dan berkembang. Sehingga dapat diartikan pendidikan sendiri merupakan proses
pembudayaan.
Terlebih di Indonesia yang notabene suatu bangsa yang kaya
akan potensi lokalnya. Karena bangsa Indonesia wilayahnya sangat luas sehingga
terdapat banyak keragaman agama, suku, budaya, adat istidat. Maka dalam proses
pendidikannya harus memperhatikan dan mempertimbangkan nilai-nilai bangsa yang
berakar dari berbagai daerah. Sehingga model pendidikan karakter berbasis
kearifan budaya lokal merupakan satu tawaran yang bisa menjadi satu alternatif
solusi pendidikan di Indonesia yang diidam-idamkan oleh masyarakat dan menjadi
solusi ditengah tekanan liberalisasi kebijakan, hal ini sebagai upaya untuk
meletakkan dasar-dasar filosofi pendidikan yang sejati, yaitu bahwa pendidikan
tidak terpisahkan dari masyarakat.
3. Kurikulum
Pendidikan Berbasis Lokal
Pendidikan
berbasis keunggulan atau kearifan lokal ini dapat dimasukkan dalam kurikulum
maupun dilaksanakan dengan mengadakan ekstrakulikuler.
Jika keunggulan lokal
diharapkan bisa terangkat dalam pendidikan melalui kegiatan kurikuler, maka ada
beberapa langkah yang yang harus dilakukan, antara lain diperlukan pengembangan
kurikulum yang spesifik. Dalam hal ini kurikulum jangan hanya menekankan pada
pendekatan epistimological. Dalam pendekatan epistimologis, kurikulum
hanya didesign untuk menyiapkan siswa dalam penguasaan disiplin ilmu
pengetahuan tertentu. Pendekatan pengembangan kurikulum model ini hanya akan
mengantarkan penguatan karakter dan cara berfikir tertentu, dan kurang society-problem
oriented.
Pengembangan keunggulan
lokal, tidak hanya memerlukan penguasaan disiplin ilmu tertentu, melainkan
lebih dari itu memerlukan kecakapan individual maupun kelompok dalam memahami
dan bertanggung jawab atas permasalahan yang dihadapi masyarakatnya, beserta
berusaha menggali potensi daerahnya yang bisa digunakan untuk memecahkannya.[15]
Dimensi objectif kurikulum
yang bisa memberikan dasar pengembangan pengetahuan teknikal juga diperlukan
untuk pengembangan keunggulan lokal. Berikut ini beberapa pendekatan yang dapat
digunakan dalam pengembangan kurikulum pendidikan berbasis lokal:
1)
Technical-scientific curriculum
Dipandang
berguna karena bisa menghantarkan siswa didik lebih akrab dengan teknologi yang
mendasari prinsip efisiensi kerja. Namun, jika pendekatan ini terlalu
dikedepankan bisa tereduksi dan bias yang bisa menjadikan pendidikan sekedar
instrumen, lalu menempatkan siswa didik sebagai mesin atau tools.
Pendekatan ini bisa mendehumanisasi siswa didik. Oleh karena itu, pendekatan
ini bisa digunakan namun sebagai pelengkap teknikal dari upaya memahami dan
memanfaatkan secara teknis terhadap sumber-sumber keunggulan daerah.
2)
Society-problem oriented curriculum
Dengan
model kurikulum ini, seperti dijelaskan oleh McKernan, siswa didik dibawa untuk
menjadi manusia cerdas mengidentifikasi permasalahan yang dihadapi
masyarakatnya. Siswa didik juga dihantarkan untuk bisa mengidentifikasi dan memahami
potensi yang dimiliki masyarakat yang bersangkutan, yang bisa dijadikan modal
memecahkan problema masyarakat itu sendiri.
3)
Learned-centered approach
Mengingat
pembelajaran akan efektif jika berkait dengan minat, kepentingan, karakter dan
konstruk siswa didik, maka pengembangan kurikulum pendidikan berbasis keunggulan
lokal, harus tetap menempatkan learned-centered approach. Dalam hal ini,
pendidikan harus berangkat dari minat, kepentingan dan karakter siswa didik dan
bukan hasil dari pemaksaan kepentingan eksternal siswa itu sendiri.
Paradigma
pendidikan konstruktifistik dengan demikian perlu diadopsi dalam pengembangan
pendidikan berbasis keunggulan lokal. Melalui paradigma ini, pendidikan
dikembangkan berangkat dari self concept siswa, lalu lebih banyak
memanfaatkan sumber-sumber nyata dari lingkungan di sekitar untuk menunjang
pembelajaran. Dalam paradigma konstruktifistik, proses pembelajaran dilakukan
secara autentik –dengan memberi sebanyak mungkin kesempatan siswa mengalami
secara nyata ke tengah subyek kehidupan. Dalam hal ini pembelajaran dilakukan
dalam upaya mencerdaskan kemampuan berfikir dalam kehidupan nyata di
masyarakat.
Sebaliknya
situasi atau keadaan sekitar dapat menginspirasinya untuk melakukan perubahan
berfikir. Masing-masing, yakni pemikiran dan lingkungan selalu berinteraksi secara
timbal balik. Dalam praktik pembelajaran, aktifitas merupakan media yang dipandang
efektif dengan memanfaatkan artefak budaya yang ada –baik yang berbentuk fisik
maupun simbolik, sebagai media pembelajaran yang sangat penting
Dengan demikian pimpinan
sekolah, para guru, dan staf harus dipersiapkan untuk mengawal model spesifik
dari pendidikan berbasis keunggulan lokal ini. Demikian juga sarana prasarana
yang menunjang upaya memahami dan mengeksplorasi potensi lokal perlu dilengkapi,
jika menghendaki investasi di bidang ini membuahkan hasil yang nyata.[16]
F. Analisis
Peraturan Perundang-Undangan dan Local Wisdom Menurut Etika Pendidikan
Ketika
suatu proses pendidikan di suatu negara berjalan dengan kebijakan-kebijakan
yang mengaturnya, maka harus ada pengawasan terhadapnya. Hal ini sangat
diperlukan apakah proses pendidikan yang berjalan sesuai dengan apa yang
menjadi harapan rakyat. Buat apa kebijakan-kebijakan dalam pendidikan
ditelurkan jika tidak pro dengan rakyat. Bahkan sampai membuat rakyat menderita
dan sengsara dengan adanya kebijakan-kebijakan tersebut.
Sebagaimana
yang telah dijabarkan di atas bahwa pendidikan yang ideal itu tidak bisa
dipisahkan dari rakyat atau masyarakat. Hal ini dikarenakan masyarakat
merupakan subyek sekaligus obyek pendidikan. Dikatakan subyek karena masyarakat
menjadi pelaku pendidikan. Dan dikatakan obyek karena masyarakat menjadi
sasaran atau tujuan pendidikan sendiri.
Pendidikan
merupakan alat atau wadah untuk mencetak masyarakat yang memiliki sumber daya
manusia yang unggul, kompetitif, dan berakhlak mulia. Rakyat atau masyarakat
merupakan tiang negara. Jika tiang ini tidak kokoh maka negara akan hancur.
Terlebih-lebih para pemuda yang menjadi tonggak estafet pemerintah dalam
menjalankan roda pemerintahan. Sebagaimana pepatah agama yang artinya: para
pemuda adalah pewaris generasi tua.
Proses
pendidikan memerlukan rancangan yang baik untuk memenuhi tujuannya yang disebut
dengan kurikulum. Kurikulum merupakan dokumen dan pedoman penyelenggaraan
kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu. Dari kurikulum
itulah tersurat dan tersirat tujuan pendidikan yang diharapkan. Tidak hanya
itu, dari kurikulum ini dapat juga dilihat model pembelajaran yang menggali
potensi-potensi lokal daerah (penerapan pendidikan berbasis keunggulan atau
kearifan lokal).
Di
Indonesia mengenai kurikulum dan pendidikan berbasis lokal telah diatur di
dalam perundang-undangan. Yaitu di dalam Undang-Undang R.I. No. 20 Tahun 2003
Tentang SISDIKNAS, Peraturan Pemerintah No. 19 Tahun 2005 Tentang Standar
Nasional Pendidikan, dan Peraturan Pemerintah No. 17 Tahun 2010 Tentang
Pengelolaan dan Penyelenggaraan Pendidikan. Meski pada 7 Mei 2013 lalu telah
ditetapkan Peraturan Pemerintah Nomor 32 tahun 2013 sebagai perubahan atas Peraturan
Pemerintah No. 19 Tahun 2005, namun esensi dari pendidikan berbasis keunggulan
lokal sesungguhnya tidak banyak berubah. Sekarang yang menjadi pertanyaan
apakah kebijakan kurikulum dengan menerapkan pendidikan berbasis keunggulan
atau kearifan lokal sudah diterapkan di semua sekolah? Dan apakah kebijakan
kurikulum dengan menerapkan pendidikan berbasis keunggulan atau kearifan lokal
sudah sesuai dengan etika pendidikan.
Menurut
pemakalah, sesuai dengan undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 (kini disempurnakan
menjadi UU Nomor 32 Tahun 2004) tentang pemerintah daerah menuntut pelaksanaan
otonomi daerah dan wawasan demokrasi dalam penyelenggaraan pendidikan.[17]
Dengan ini berarti setiap daerah memiliki kewenangan untuk menentukan
pelaksanaan pendidikan, maka pendidikan berbasis keunggulan atau kearifan lokal
ini dapat dimasukkan dalam kurikulum maupun dilaksanakan dengan mengadakan
ekstrakulikuler. Seharusnya semua sekolah telah menerapkan kurikulum
dengan menerapkan pendidikan berbasis keunggulan atau kearifan lokal.
Selanjutnya jika mengacu pada Permendiknas Nomor 63
Tahun 2009 tentang Sistem Penjaminan Mutu Pendidikan, maka satuan pendidikan
yang dapat menggunakan program pendidikan berbasis keunggulan lokal adalah
satuan pendidikan yang telah melampaui standar pelayanan minimal (SPM) dan
standar nasional pendidikan (SNP). Standar mutu di atas SNP yang berbasis
keunggulan lokal dapat dirintis pemenuhannya oleh satuan pendidikan yang telah memenuhi SPM dan sedang dalam proses
memenuhi SNP. Pendidikan berbasis keunggulan lokal dapat diperoleh
peserta didik dari satuan pendidikan yang bersangkutan atau dari satuan
pendidikan nonformal yang sudah memperoleh akreditasi.
Menurut Jamal
Ma’mur Asmani, ada beberapa hal yang harus di perhatikan sekolah dalam pelaksanaan
pendidikan berbasis keunggulan lokal ini, diantaranya kondisi sekolah, bahan
kajian, program pengajaran, dan alokasi waktu.[18]
Kondisi sekolah misalnya bagi sekolah yang mampu mengembangkan standar
kompetensi dan kompetensi dasar beserta silabusnya dapat melaksanakan mata
pelajaran keunggulan lokal. Apabila sekolah belum mampu mengembangkannya maka
sekolah dapat melaksanakan keunggulan lokal berdasarkan kegiatan yang di
rencanakan oleh sekolah. Bahan pelajaran hendaknya juga sesuai dengan tingkat
perkembangan peserta didik baik perkembangan pengetahuan, emosional serta
sosial peserta didik. Dalam kaitan sumber belajar hendaknya memanfaatkan
potensi keunggulan lokal di sekolah. Misalnya memanfaatkan lahan kosong yang
ada di sekolah dengan melibatkan peserta didik aktif dalam kegiatan ini. Bahan
yang diajarkan hendaknya bersifat utuh, artinya mengacu pada suatu tujuan
pengajaran yang jelas. Bahan kajian keunggulan lokal dapat disusun dan
diberikan dalam jangka waktu satu semester atau satu tahun ajaran, tergantung
dengan kebijakan sekolah. Alokasi waktu untuk bahan pelajaran keunggulan lokal
perlu memperhatikan jumlah minggu efekif untuk mata pelajaran keunggulan lokal
pada setiap semester.
Kebijakan
kurikulum dengan menerapkan pendidikan berbasis keunggulan atau kearifan lokal
sudah sesuai dengan etika pendidikan. Karena Konsep pengembangan keunggulan atau
kearifan lokal diinspirasi dari berbagai potensi, yaitu Sumber Daya Alam (SDA),
Sumber Daya Manusia (SDM), geografis, budaya, dan historis. Dimana semuanya itu
sesuai dengan tujuan dari pendidikan itu sendiri yang tidak dapat dipisahkan
dari masyarakat.
Potensi
keunggulan dan kearifan lokal dijadikan landasan pendidikan karena di Indonesia
banyak sekali potensi keunggulan lokal baik dari konsep potensi SDA, SDM,
potensi geografis, potensi budaya dan potensi historis yang belum terkelola
dengan baik, sehingga belum dapat dirasakan manfaatnya oleh masyarakat
Indonesia maupun masyarakat sekitar. Banyak sekali masyarakat daerah yang
memilih untuk merantau ke ibu kota untuk mencari lapangan pekerjaan, padahal di
daerahnya memiliki potensi sumber daya alam yang melimpah.
Pada
umumnya masyarakat belum mengetahui sumber daya yang ada di daerah mereka,
sehingga potensi keunggulan lokal belum dapat dimanfaatkan. Keunggulan lokal
dijadikan landasan pendidikan agar peserta didik dan masyarakat dapat
mengetahui apa saja keunggulan lokal di daerah masing-masing agar masyarakat
dapat memahami aspek-aspek yang berhubungan dengan keunggulan lokal tersebut.
Sehingga masyarakat mampu mengolah sumber daya yang ada agar dapat bermanfaat
untuk kelangsungan kehidupan dan perekonomian daerah tersebut sekaligus
melestarikan budaya, tradisi, dan sumber daya yang menjadi unggulan daerah.
Pendidikan berbasis keunggulan dan keraifan lokal ini juga memiliki tujuan agar
Indonesia mampu bersaing secara global.
Pelaksanaan
pendidikan berbasis keunggulan dan kearifan lokal di Indonesia dapat dilakukan
dengan cara melibatkan pihak lain yakni Tim Pengembang Kurikulum (TPK) di
daerah, lembaga penjamin mutu pendidikan (LPMP), perguruan tinggi, serta
instansi luar Depdikbud, misalnya Pemda, dan Departermen lainnya.[19]
Lembaga-lembaga ini memiliki peran mulai dari mengidentifikasi keadaan dan
kebutuhan daerah masing-masing hingga melengkapi sarana prasarana pendidikan
yang diperlukan untuk kebutuhan penyelenggaraan pendidikan berbasis keunggulan dan
kearifan lokal. Namun sebagai penyelenggara pendidikan berbasis keunggulan dan
kearifan lokal sebaiknya sekolah tidak menggantungkan kepada lembaga-lembaga
yang ada. Pihak sekolah harus pro aktif melakukan kajian, konsultasi,
sosialisasi, dan pemantapan manajemen untuk melaksanakan pendidikan berbasis
keunggulan lokal ini.
Pendidikan
berbasis keunggulan dan kearifan lokal sejalan dengan kurikulum yang di desain
yaitu kurikulum yang mengaktifkan peserta didiknya dalam proses pembelajaran.
Dimana tujuan pembelajarannya penguasaan kompetensi. Kompetensi ini terdiri
dari pengetahuan, pemahaman, keterampilan, nilai, sikap dan minat.[20]
Hal ini di tandai dengan berubahnya kurikulum 1994 menjadi kurikulum KBK
(Kurikulum Berbasis Kompetensi). Pada tahun 2006 kurikulum KBK ini mengalami
penyempurnaan dan berubah menjadi KTSP (Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan).[21]
Dan pada tahun 2013 ini kurikulum KTSP disempurnakan kembali dengan kurikulum
2013. Pada kurikulum 2013 ini peserta didik dituntut untuk lebih bersikap
ilmiah dengan model pembelajaran berangkat dari permasalahan baik permasalahan
yang di alami oleh peserta didik itu sendiri dalam kehidupan sehari-hari maupun
yang terjadi di kehidupan masyarakat. Meskipun mengalami perubahan nama
kurikulum, tetapi esensi dari ketiga kurikulum itu sama, yaitu menekankan
peserta didik yang aktif dalam proses pembelajaran. Sedangkan guru berperan
sebagai fasilitator dan perancang pembelajaran.
BAB
III
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Salah
satu teori etika pendidikan adalah teori teleology yang mempunyai 2 macam
pendekatan, yakni: 1) Egoisme: tingkah laku bisa diterima atau benar dengan maksimalkan kepentingan diri sendiri,
terkait dengan akibat-akibat dan alternatif solusi yang dapat menyumbang
dan menambah manfaat kepada kepentingan
diri sendiri. Suatu kebijakan dalam dunia pendidikan dianggap benar jika sesuai
dengan manfaat yang diharapkan oleh setiap individu, (2) Utilitarianisme:
tingkah laku dianggap benar jika dapat bermanfaat kepada kepentingan publik.
Suatu kebijakan dalam dunia pendidikan dianggap benar jika sesuai dengan
kepentingan masyarakat.
2. Berikut
ini peraturan-peraturan yang menjadi landasan penyelenggaraan pendidikan
berbasis keunggulan lokal:
-
Undang-Undang R.I. No.
20 Tahun 2003 Tentang SISDIKNAS: pasal 1 ayat 1, pasal 1 ayat 19, pasal 36 ayat
2, pasal 36 ayat 3 dan pasal 37 ayat 1
-
Peraturan Pemerintah
No. 19 Tahun 2005 Tentang Standar Nasional Pendidikan (Pasal 14 ayat 1, Pasal
14 ayat 2, Pasal 14 ayat 3, Pasal 17 ayat 1)
-
Peraturan Pemerintah No. 32 Tahun 2013
tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah No. 19 Tahun 2005 tentang Standar
Nasional Pendidikan (adanya penambahan BAB XIA yang
secara khusus berisi pasal-pasal yang mengatur tentang kurikulum termasuk kurikulum pendidikan berbasis
keunggulan lokal)
-
Peraturan Pemerintah
No. 17 Tahun 2010 Tentang Pengelolaan dan Penyelenggaraan Pendidikan (Pasal
155, Pasal 156 ayat 2, Pasal 157 ayat 1, Pasal 157 ayat 2 dan Pasal 158 ayat 2)
3. Pendidikan
berbasis keunggulan lokal adalah usaha untuk mewujudkan pembelajaran yang
memanfaatkan keunggulan lokal dalam aspek ekonomi, budaya, teknologi informasi
dan komunikasi, bahasa, ekologi, dan lain-lain. Yang semuanya bermanfaat bagi
pengembangan potensi peserta didik. Beberapa pendekatan yang dapat digunakan dalam pengembangan kurikulum
pendidikan berbasis lokal: Technical-scientific curriculum, Society-problem
oriented curriculum dan Learned-centered
approach
4. Kebijakan
kurikulum dengan menerapkan pendidikan berbasis keunggulan atau kearifan lokal
sudah sesuai dengan etika pendidikan. Karena konsep pengembangan keunggulan atau
kearifan lokal diinspirasi dari berbagai potensi, yaitu Sumber Daya Alam (SDA),
Sumber Daya Manusia (SDM), geografis, budaya, dan historis. Dimana semuanya itu
sesuai dengan tujuan dari pendidikan itu sendiri yang tidak dapat dipisahkan
dari masyarakat. Pendidikan berbasis keunggulan dan keraifan lokal ini juga
memiliki tujuan agar Indonesia mampu bersaing secara global.
5.
Saran
Sebaiknya
keunggulan atau kearifan lokal perlu diperhatikan agar masyarakat dan generasi
muda Indonesia bisa menyadari akan potensi yang ada di daerahnya, supaya
generasi muda dapat mengelolanya dengan
baik dan dapat bermanfaat bagi daerahnya maupun masyarakat Indonesia. Dan
sebaiknya pendidikan berbasis keunggulan atau kearifan lokal ini di berikan kepada
peserta didik mulai dari sekolah dasar hingga perguruan tinggi melalui
kurikulum yang materinya mengandung pendidikan berbasis keunggulan atau
kearifan lokal di daerah masing-masing maupun potensi keunggulan atau kearifan lokal
secara keseluruhan yang ada di Indonesia.
DAFTAR PUSTAKA
Asmani, Jamal Ma’mur. Pendidikan Berbasis
Keunggulan Lokal. Yogyakarta: DIVA Perss, 2012.
Fakih, Mansour. Komodifikasi Pendidikan Sebagai
Ancaman Kemanusiaan. Yogyakarta: Insist Press, 2001.
Kemendikbud, UU No. 20 Th. 2003 Tentang SISDIKNAS
dan PP R.I. Th. 2010 Tentang Penyelenggaraan Pendidikan dan Wajib Belajar. Bandung:
Citra Umbara, 2011.
Mudlofir, Ali. Aplikasi Pengembangan Kurikulum
Tingkat Satuan Pendidikan dan Bahan Ajar dalam Pendidikan Islam. Jakarta:
Rajawali Pers, 2012.
Maliki, Zainuddin. Pendidikan Berbasis Keunggulan
Lokal. Jurnal: Widyaiswara
Madya BDK Surabaya
Purwadarminta,
W. J. S. Kamus Umum Bahasa Indonesia.
Jakarta: Balai Pustaka, 1996.
Rahmaniyah, Istighfarotur .Pendidikan Etika. Malang:
UIN maliki Press, 2010.
Salam, Burhanuddin. Etika Individual: Pola Dasar
Filsafat Moral. Jakarta: PT Rineka Cipta, 2000
Sastrapradja, M. Kamus Istilah Pendidikan dan
Umum. Surabaya: Usaha Nasional, 1981
Supriadi, Etika dan Tanggung Jawab Profesi Hukum
di Indoseia. Jakarta: PT Sinar Grafika, 2006.
Sanjaya, Wina. Pembelajaran dalam Implementasi
Kurikulum Berbasis Kompetensi. Jakarta: Prenada Media, 2005.
http://xerma.blogspot.com/2013/04/pengertian-dan-teori-etika.html
di akses tanggal 23 Mei 2013 pukul 20.18.
http://akhmadsudrajat.wordpress.com/2013/05/15/pp-no-32-tahun-2013/#more-29020 diakses pada
26 Mei 2013
[1]Burhanuddin Salam, Etika
Individual: Pola Dasar Filsafat Moral (Jakarta: PT Rineka Cipta, 2000), 3.
[2]M. Sastrapradja, Kamus Istilah
Pendidikan dan Umum (Surabaya: Usaha Nasional, 1981), 144.
[3]W. J. S. Purwadarminta, Kamus Umum Bahasa
Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka, 1996), 270.
[4]Istighfarotur
Rahmaniyah, Pendidikan Etika (Malang: UIN maliki Press, 2010), 66.
[5]Burhanudin Salam, Etika
Individual ..., 3-4.
[6]Supriadi, Etika
dan Tanggung Jawab Profesi Hukum di Indoseia (Jakarta: PT Sinar Grafika,
2006), 11.
[7]http://xerma.blogspot.com/2013/04/pengertian-dan-teori-etika.html
di akses tanggal 23 Mei 2013 pukul 20.18.
[8]Kemendikbud, UU
No. 20 Th. 2003 Tentang SISDIKNAS dan PP R.I. Th. 2010 Tentang Penyelenggaraan
Pendidikan dan Wajib Belajar (Bandung: Citra Umbara, 2011), 2.
[9]Kemendikbud, UU
No. 20, 3.
[10]Kemendikbud, UU
No. 20, 19.
[11]Kemendikbud, UU No. 20, 19.
[12]Kemendikbud, UU No. 20, 20.
[13] http://akhmadsudrajat.wordpress.com/2013/05/15/pp-no-32-tahun-2013/#more-29020 diakses pada 26 Mei 2013
[14]Mansour Fakih, Komodifikasi
Pendidikan Sebagai Ancaman Kemanusiaan (Yogyakarta: Insist Press, 2001), 11.
[15] Zainuddin Maliki, Pendidikan Berbasis Keunggulan
Lokal, Jurnal: Widyaiswara Madya BDK Surabaya
[16]
Zainuddin Maliki, Pendidikan Berbasis Keunggulan Lokal
[17]Jamal Ma’mur Asmani, Pendidikan
Berbasis Keunggulan Lokal (Yogyakarta: DIVA Perss, 2012), 42
[18]Jamal Ma’mur Asmani, Pendidikan
Berbasis, 50.
[19] Jamal
Ma’mur Asmani, Pendidikan Berbasis, 46.
[20] Wina
Sanjaya, Pembelajaran dalam Implementasi Kurikulum Berbasis Kompetensi
(Jakarta: Prenada Media, 2005), 6.
[21] Ali
Mudlofir, Aplikasi Pengembangan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan dan
Bahan Ajar dalam Pendidikan Islam (Jakarta: Rajawali Pers, 2012), 32.
888casino - DrMCD
BalasHapus888casino.com. 삼척 출장안마 Information & Reviews about 888casino including WJAR, casino 천안 출장마사지 games Address, 공주 출장마사지 Phone Number, Casino games, 시흥 출장샵 Games, 경기도 출장샵 Betting,