Senin, 15 Juni 2015

Filsafat Pendidikan Islam

Konsep Pendidikan Ibnu Khaldun
Oleh : Khoirul Anam Muawwan

BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Dunia pendidikan islam di Indonesia khususnya dan di dunia islam umumnya masih dihadapkan pada berbagai persoalan, mulai dari rumusan tujuan pendidikan yang kurang sejalan dengan tntutan masyarakat sampai kepada persoalan guru, metode, kurikulum, dan lain sebagainya. Upaya untuk mengatasi masalah tersebut masih terus dilakukan dengan berbagi upaya. Pelatihan yang cukup bagi tenaga kependidikan dan lain sebagaianya adalah salah satu dariupaya yang sudah dilakukan, namun maslaha pendidikan terus bermunculan.
Upaya untuk memperbaiki kondisi kependidikan yang sedemikian ini tampaknya harus ditelusuri akar permasalahannya yang bertumpu pada pemikiran filosofis.Sudah diketahui bahwa filsafat adalah induk dari segala ilmu.
Pendidikan islam, menurut berbagai pemikir filsafat, masih belum menemukan format dan bentuknya yang khas sesuai dengan ajaran islam. Hal ini karena konsep pendidikan yang ditawarkan belum dirancang permasalahannya dengan seksama. Dan juga belum banyak diperkenalkan pemikiran kependidikan yang dikemukakan para filosof muslim seperti Al-Ghozali, Ibnu Khaldun, Ibnu Maskawaih, dan lain sebagainya.
Salah satu pemikiran konsep pendidikan filosof muslim yaitu telah dikemukakan Ibnu Khaldun. Menurutnya, pendidikan dan ilmu pertama yang harus dipelajari dan diajarkan sejak dini adalah ilmu agama yaitu ilmu Al-Quran. Di samping Al-Quran menjadi sumber utama kebenaran, disana terdapat berbagai petunjuk yang mengatur pola kehidupan yang seharusnya dilaksanakan umat islam dan umat manusia.
Tujuan pendidikan menurut Ibnu Khaldun adalah untuk membuat kaum muslimin percaya dan meyakini Tuhan melalui mempelajari Al-Quran dan ilmu pengetahuan keagamaan. Ilmu pengetahuan yang berkenaan dengan keyakinan dan hukum islam akan membuat kaum muslimin mengetahui realitas yang diarahkan pada upaya mendapatkan akhlak dan tingkah laku yang baik. Dengan demikian ilmu pengetahuan islam dan tujuan hidupnya akan sejalan dengan ajaran islam dan akan menolongnya untuk menjadi muslim yang baik dan anggota masyarakat yang baik pula.[1]

B.     Rumusan Masalah
1.      Bagaimana riwayat Ibnu Khaldun selama hidupnya?
2.      Bagaimana konsep pendidikan yang telah dikemukaan Ibnu Khaldun?

C.    Tujuan
1.      Mahasiswa mampu menjelaskan riwayat Ibnu Khaldun selama hidupnya.
2.      Mahasiswa mampu menjelaskan konsep pendidikan yang telah dikemukakan Ibnu Khaldun.



BAB II
PEMBAHASAN

A.    Riwayat Hidup Ibnu Khaldun
Abdur Rahman Ibnu Khaldun dilahirkan di Tunis pada tanggal 27 Mei tahun 1332.Ia adalah keturunan Banu Khaldun dari Spanyol yang kemudian pindah ke Tunis. Ibnu Khaldun memulai pendidikannya dengan belajar Al Quran.Ia termasuk orang yang beruntung dalam memperoleh pendidikan dasar yang dilakukan guru terkenal di Tunis. Ia menunjukkan perhatiannya pada masalah hukum, adat istiadat, bahasa, tata bahasa, dan syair. Ia kemudian mempelajari logika, filsafat, teologi, dan ilmu pengetahuan islam lainnya. Setelah mencapai usia 21 tahun ia bekerja sebagai pegawai pada kerajaan Tunis, namun ia meningglakan pekerjaan tersebut. Pada tahun 1354 ia diundang ke Fez untuk menjadi tenaga sekretaris pada Abu Enam, tetapi setelah beberapa tahun ia meningglakan pekerjaan tersebut.[2]
Selanjutnya pada tahun 1362, Ibnu Khaldun menyeberang ke Spanyol dan bekerja pada raja Granada. Di Granada ia menjadi utusan raja untuk berunding dengan Pedro, raja Granada, Raja Castila, sedangkan di Sevilla, karena kecakapannya yang luar biasa, ia ditawari bekerja oleh penguasa Kristen itu. Sebagai imbalannya, tanah-tanah bekas keluarganya dikembalikan kepada Ibnu Khaldun, tetapi Ibnu Khaldun memilih tawaran yang sama dari raja Granada. Kesanalah ia memboyong keluarganya dari Afrika.[3]
Ketenangan hidup baruia jumpai setelah melepaskan semua jabatan resminya. Dan pada waktu itulah menciptakan karyanya yang monumental, yaitu Muqoddimad dan sejarah Alam Semesta. Setelah itu ia kembali ke Tunisia. Tetapi oleh karena iamenghadapi masalah yang sama seperti yang dialami di Granada, maka ia memutuskan diri untuk naik haji. Dan pada tahun 1382 M, ia pergi ke Iskandariah. Tetapi dalam perjalanan hajinya ia singgah di Mesir. Di daerah ini ia ditawari jabatan guru kemudian ketua Mahkamah Agung di bawah pemerintahan Dinasti Mamluk.[4]Ia memegang jabatan tersebut sampai wafat pada tahun 1406.
Karya tulis Ibnu Khaldun banyak macamnya antara lain ilmu mantiq dan ringkasan filsafat Ibnu Rusyd, juga mengarang tentang fikih, matematika, kesusastraan Arab, sejarah ilmu hitung.[5]Ibnu Khaldun dikenal melalui karyanya Muqaddima yang ia tulis sebagai pengantar terhardap bukunya yang disebutkan di atas. Muqaddima berisi cara penyususan filsafat dan sejarah. Selain itu kitab itu juga berisi pandangan-pandangan mengenai berbagai aspek yang berkaitan dengan negara dan masyarakat termasuk penjelasan secara mendetail tentang pendidikan.[6] Hal ini terlihat antara lain terlihat dari pengalamannya sebagai guru yang berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat lainnya.[7]

B.     Pandangan Ibnu Khaldun Tentang Pendidikan
  1. .      Tinjauan Pendidikan Secara Umum

Ibnu Khaldun berpendapat bahwa tidak cukup bagi seorang guru hanya membekali anak dengan ilmu pengetahuan saja agar mereka menjadi orang yang berilmu pengetahuan yang menambah pengetahuannya dalam belajar. Akan tetapi juga guru wajib memperbaiki metode dalam penyajian ilmu kepada anak didiknya, dan hal ini tidak akan menjadi sempurna kecuali dengan lebih dahulu mempelajari hidup kejiwaan anak dan mengetahui tingkat-tingkat kematangannya serta bakat-bakat ilmiahnya, sehingga ia mampu menerapkan sesuai dengan tingkat pikiran mereka. Dengan cara demikian terjalinlah hubungan antara guru dengan anak muridnya.[8]
Ibnu Khaldun menetapkan bahwa metode mengajar sebaiknya harus diterapkan dalam proses mengajarkan materi ilmu pengetahuan atau mengikutinya, karena dipandang pengajaran tidak akan sempurna kecuali harus dengan metode itu. Maka seolah-olah metode dan materi merupakan satu kesatuan, padahal ia bukanlah bagian dari materi pelajaran, yang bukti-biktinya ditunjukkan dengan adanya kenyataan bahwa di kalangan tokoh pendidikan terdapat metode-metode yang berbeda.[9]
Dapat dikatakan bahwa Ibnu Khaldun sebagai pendidik yang berkemampuan mengajar berpendapat bahwa kedayaguanaan metode yang dapat digunakan untuk menyampaikan pengetahuan kepada murid bergantung kepada sejauh mana kematangan persiapan guru dalam mempelajari kejiwaan anak didiknya.Sehingga diketahui sejauh mana kematanagan kesiapan mereka dan bakat-bakat ilmiahnya.[10]
Pada bagian lain, Ibnu Khaldun berpendapt bahwa dalam proses belajar atau menurut ilmu pengetahuan manusia disamping harus sungguh-sungguh juga harus memiliki bakat. Menurutnya dalam mencapai ilmu pengetahuan yang bermacam-macam itu seseorang tidak hanya membutuhkan ketekunan, tetapi juga bakat.Berhasilnya suatu keahlian dalam suatu bidang ilmu atau disiplin memerlukan pengajaran.[11]
Pendidikan menurut Ibnu Khaldun bukan hanya terdiri dari ilmu yang digunakan dalam kehidupan namun juga terdiri dari metode yang berfungsi sebagai tehnik dalam penyampaian ilmu tersebut.Orang yang berilmu belum tentu bisa mengajarkan ilmunya dengan maksimal dan seharusnya didukung dengan metode-metode dalam menyampiakannya.Karena ilmu dan metode pengajaran merupakan satu kesatuan yang tidak boleh terpisahkan demi terbentuknya pendidikan yang unggul.
Ibnu Khaldun percaya bahwa upaya mencapai dan memiliki ilmu pengetahuan adalah kebutuhan pokok kehidupan manusia, karena mansuia mempunyai kemampuan berfikir dan bernalar. Selanjutnya ia percaya bahwa relaitas harus diketahui melalui wahyu dan bukan melaluiusaha penalaran intelektual sebagaimana yang demikian itu diyakini oleh para filosof .dengan demikian kondisi yang pertama untuk mengetahui relaitas bagi kaum muslimin adalah Al-Quran dan Nabi Muhammad SAW. Inilah filsafat ilmu pendidikan Ibnu Khaldun yang terpenting.Ia mengemukakan masalah tersebut dalam dimensi sosiologi dan menghubungkan pendidikan dengan situasi masyarakat islam.[12]
Al-Quran adalah satu-satunya kebenaran yang hak yang menjadi acuan dalam berkehidupan.Serta hadis Nabi Muhammad yang menjadi pemandu kebenaran Al-Quran dalam penyampiannya kepada manusia dan digunakan sebagai penjelas Al-Quran.Kedua sumber ilmu pengetahuan tersebut secara tekstual isinya menggunakan bahasa dan kondisi kehidupan pada zaman dimana diturunkannya ilmu tersebut.Sedangkan secara kontekstual, dapat digunakan pada zaman serba modern sekarang ini.Hal tersebut juga berlaku pada konsep pendidikan yang terus perlu dikembangkan agar dapat menjadikan manusia bukan sekedar intelektualnya saja yang menjadi pertimbangan namun akhlak juga termasuk prioritas utama.
  1. Pandangan Tentang Ilmu

Dalam kitab al-muqaddimah ibnu khaldun menjelaskan tentang klasifikasi ilmu secara umum  
إِعْلَمُ اَنَّ العُلُوْمَ الَّتِي يَخُوْضُ فِيْهَا البَشَرُ وَ يَتَدَاوَلُوْنَهَا فِي الْاَمْصَارِ تَحْصِيْلاً وَتَعْلِيْمًا هِيَ عَلَى صِنْفَيْنِ, صِنْفٍ طَبِيْعِيٍّ لِلْإنْسَانِ يَهْتَدِي إِلَيْهِ بِفِكْرِهِ. وَ صِنْفٍ نَقْلِيٍّ يَأْخُذُهُ عَمَّنْ وَضَعَهُ.  
Maksud dari penjelasan di atas adalah bahwa ilmu yang mendasari setiap manusia ada dua macam yakni ilmu aqli dan ilmu naqli.  
Berkenaan dengan ilmu pengetahuan, Ibnu Khaldun membaginya menjadi tiga macam, yaitu:[13]
a.       Ilmu lisan (bahasa) yaitu tentang tata bahasa (gramatika), sastra atau bahasa yang tersusun secara puitis (sya’ir).
b.      Ilmu naqli, yaitu lmu yang diambil dari kitab suci dan sunnah nabi. Ilmu ini berupa membaca kitab suci Al-Quran dan tafsirnya, sanad dan hadis pentashihannya serta istinbat tentang kaidah-kaidah fiqih. Dengan ilmu ini manusia akan dapat mengetahui hukum-hukum Allah yang diwajibkan kepada manusia. Dari Al-Quran inilah didapati ilmu-ilmu tafsir, ilmu ushul fiqih yang dipakai untuk menganalisa hukum-hukum Allah itu melalui cara istinbat.
c.       Ilmu ‘aqli, yaitu ilmu yang dapat menunjukkan manusia dengan daya fikir dan kecenderungannya kepada filsafat dan semua ilmu pengetahuan. Termasuk di dalam kategori ini adalah ilmu mantiq (logika), ilmu alam, ilmu ketuhanan, ilmu teknik, ilmu hitung, ilmu tingkah laku manusia, termasuk juga I,mu sihir, dan ilmu nujum (perbintangan). Mengenai ilmu nujum, Ibnu Khaldun menganggapnya sebagai ilmu yang fasid karena ilmu dapat dipergunakan untuk meramalkan segala kejadian sebelum terjadi atas perbintangan. Hal ini merupakan sesuatu yang bathil, berlawanan dengan ilmu tauhid yang menegaskan bahwa tidak ada yang menciptakan kecuali Allah sendiri.
Diantara ilmu tersebut ada yang harus diajarkan kepada anak didik, yaitu:[14]
a.       Ilmu syariah dengan segala jenisnya.
b.      Ilmu filsafat seperti ilmu alam dan ilmu ketuhanan.
c.       Ilmu alat yang membantu ilm agama seperti ilmu bahasa, gramatika, dan sebagainya.
d.      Ilmu alat yang membantu ilmu falsafah seperti ilmu mantiq.
Selain itu Ibnu Khaldun berpendapat bahwa Al-Quran adalah ilmu yang pertama kali harus diajarkan kepada anak, karena mengajarkan Al-Quran kepada anak-anak termasuk syariat islam yang dipegang teguh oleh para ahli agama dan dijunjung tinggi oleh setiap negara islam. Al-Quran yang telah ditanamkan pada anak didik akan menjadi pegangan hidupnya karena pengajaran pada masa kanak-kanak masih mudah, karena otak si anak masih jernih.[15]
  1. 3.      Tujuan Pendidikan

Menurut Ibnu Khaldun, tujuan pendidikan beraneka ragam dan bersifat universal. Diantara tujuan pendidikan tersebut adalah:
a.       Tujuan peningkatan pemikiran[16]
Ibnu khaldun memandang bahwa: salah satu tujuan pendidkan adalah memberikan kesempatan kepada akal untuk lebih giat dan melakukan aktivitas. Hal ini dapat dilakukan melalui proses menuntut ilmu dan keterampilan. Dengan menuntut ilmu dan ketrampilan, seseorang akan dapat meningkatkan kegiatan potensi akalnya. Disamping itu, melalui potensinya, akal akan mendorong manusia untuk memperoleh dan melestarikan pengetahuan. Melalui proses belajar, manusia senantiasa mencoba meneliti pengetahuan-pengetahuan atau informasi-informasi yang diperoleh oleh pendahulunya. Manusia mengumpulkan fakta-fakta dan menginventarisasikan keterampilan-keterampilan yang dikuasainya untuk memperoleh lebih banyak warisan pengetahuan yang semakin meningkat sepanjang masa sebagai hasil dari aktifitas akal manusia.
Atas pemikiran tersebut, maka tujuan pendidikan menurut Ibnu Khaldun adalah peningkatan kecerdasan manusia dan kemampuannya berfikir. Dengan kemampuan tersebut, manusia akan dapat meningkatkan pengetahuannya dengan cara memperoleh lebih banyak warisan pengetahuan pada saat belajar.
b.      Tujuan peningkatan kemasyarakatan
Dari segi peningkatan kemasyarakatan, Ibnu Khaldun berpendapat bahwa ilmu dan pengajaran adalah lumrah bagi peradaban manusia.Ilmu dan pengajaran sangat diperlukan untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat manusia kearah yang lebih baik. Semakin dinamis budaya suatu masyarakat, maka akan semakin bermutu dan dinamis pula keterampilan di masyarakat tersebut. Untuk itu, manusia seyogyanya senantiasa  berusaha memperoleh ilmu dan keterampilan sebanyak mungkin sebagai salah satu cara membantunya untuk dapat hidup dengan baik dalam masyarakat yang dinamis dan berbudaya. Jadi, eksistensi pendidikan menurutnya merupakan satu sarana yang dapat membantu individu dan masyarakat menuju kemajuan dan kecemerlangan.Disamping bertujuan meningkatkan segi kemasyarakatan manusia, pendidikan juga bertujuan mendorong terciptanya tatanan kehidupan masyarakat kearah yang lebih baik.
c.       Tujuan pendidikan dari segi kerohanian adalah dengan meningkatkan kerohanian manusia denagn menjalankan praktek ibadah, dzikir, halwat (menyendiri) dan mengasingkan diri dari khalayak ramai sedapat mungkin untuk tujuan ibadah sebagaimana yang dilakukan oleh para sufi.[17]
  1. 4.      Metode Pengajaran

a.       Metode pentahapan dan pengulangan (Tadarruj Wat Tikraari)
Pengajaran yang efektif menurut ibnu khaldun harus dicapai setahap demi setahap.[18] Menurut beliau mengajar anak-anak/remaja hendaknya didasarkan atas prinsip-prinsip pandangan bahwa tahap permulaan pengetahuan adalah bersifat total (keseluruhan), kemudian secara bertahap, baru terperinci, sehingga anak dapat menerima dan memahami permasalahan pada tiap bagian dari ilmu yang diajarkan dengan tingkat penjelasan yang mudah dimengerti oleh peserta didik agar tidak terjadi kesulitan dalam memahami ilmu yang disampaikan, agar peserta didik dapat mencerna ilmu tersebut degan baik dan keseluruhan.
Kemudian guru mengulang lagi ilmu yang diajarkan itu agar anak-anak meningkat daya pemahamannyasampai ketahap yang tertinggi melalui uraian dan pembuktian yang jelas sehingga tidak ada lagi keraguan dalam memahami ilmu tersebut.
b.      Menggunakan Sarana Tertentu Untuk Menjabarkan Pelajaran
Menurut ibnu khaldun penggunaan alat-alat peraga sangatlah penting untuk menunjang tingkat pemahaman seorang siswa atau peserta didik, karena seorang anak pada waktu mulai belajar permulaanya lemah dalam memahami dan kurang daya pengamatnya.Dan hal inilah yang ditekankan oleh beliau, karena memang anak didik bergantung pada panca indranya dalam proses penyusunan pengalamannya.  
Dalam kegiatan belajar mengajar alat-alat peraga tersebut merupakan sarana pembuka cakrawala yang lebih luas, disamping itu juga alat peraga ini menjadikan pengetahuan anak bersentuhan dengan pengalaman indrawi yang hakiki.[19]
Inti dari makna yang terkandung di dalam metode ini yaitu lebih  memudahkan anak untuk  memahami pelajaran dan mengurangi kesalahan daya penerimaan ilmu yang diajarkan serta memperkecil pemahaman yang buruk, dan sebagainya.
c.       Widya-Wisata Merupakan Alat Untuk Mendapatkan Pengalaman Yang Langsung
Ibnu Khaldun mendorong agar melakukan perlawatan  untuk menuntut ilmu karena dengan cara ini murid-murid akan mudah mendapat sumber-sumber pengetahuan yang banyak sesuai dengan tabiat eksploratif anak, dan pengetahuan mereka berdasarkan observasi lansung itu berpengaruh besar dalam memperjelas pemahamannya terhadap pengetahuan lewat pengalaman indrawinya.
Begitu pentingnya metode ini bagi anak didik untuk mendapatkan ilmu secara Realsehingga beliau mengatakan: “ Sesungguhnya melakukan perlawatan untuk menuntut ilmu dan menjumpai para ahli ilmu pengetahuan dan tokoh-tokoh ilmu dan tokoh pendidikan, menambah kesempurnaan ilmu mereka, sebab banyak orang menimba pengetahuan dan akhlak serta aliran paham yang dianut serta keutamaan-keutamaan mereka; kadangkala dengan cara menukil ilmu, mempelajari atau menerima kuliah, dan kadang kala dengan cara meniru dan belajar melalui pergaulan dengan mereka. Sedangkan keberhasilan mendapatkan pengetahuan dengan bergaul dan menerima pelajaran akan lebih mendalam dan lebih kuat kesannya dari pada cara lain, apalagi melalui banyak guru yang ilmunya bermacam-macam.”[20]
Yang dimaksud perlawatan (rihlah) menurut beliau adalah perjalanan menemui guru-guru yang mempunyai keahlian khusus, dan belajar kepada para tokoh ulama dan ilmuwan terkenal. Metode perlawatan yang diajarkan oleh ibnu Khaldun juga telah dijelaskan dalam Firman Allah surah: Ar-Rum ayat 42 :

Artinya: Katakanlah: Adakanlah perjalanan kamu di atas bumi, maka lihatlah, bagaimana akibatnya orang-orang yang (hidup) sebelumnya…...(Ar-Rum:42).
d.      Tidak Memberikan Presentasi Yang Rumit Kepada Anak Yang Baru Belajar Permulaan.
Ibnu Khaldun mengajarkan hendaknya jangan mengajarkan anak-anak dengan definisi-definisi, dan kaidah-kaidah ilmu pengetahuan, khususnya pada permulaan belajar akan tetapi seharusnya guru memulai dengan memberikan contoh-contoh yang mudah dan membahas nash-nash serta mengistinbathkan (mengambil kesimpulan) yang khusus. Pemahaman anak terhadap pengertian kaidah dan norma-norma serta definisi-definisi berarti menghadapkan anak kepada kaidah-kaidah ilmu yang bersifat menyeluruh dan menghadapkan anak kepada permasalahan (problema) ilmu secara sekaligus.[21]
Hal ini jelas belum dapat dimengerti oleh anak karena usianya yang belum matang, dan juga karena hal itu akan menyebabkan akal pikirannya dibebani dengan kesulitan dan rasa malas, bahkan memperkecil daya pikirnya yang akan berakhir pada apa yang dinamakan “kelumpuhan akademis”. Hal demikian akan mengakibatkan anak lari dari ilmu dan membencinya. Hal ini dikarenakan metode pengajaran yang tidak tepat dan kurang memperhatikan kondisi anak didik terlebih dahulu.
e.       Harus Ada Keterkaitan Dalam Disiplin Ilmu.
Ibnu Khaldun mendorong agar guru dalam mengajarkan ilmu kepada muridnya mengaitkan dengan ilmu lain, (jangan terpisah-pisah). Karena memisah-misahkan ilmu satu sama lain menyebabkan kelupaan; hal ini diperkuat dengan uraian diatas tentang perlunya mengajar dengan pengulangan sampai tiga kali tanpa terpisah-pisah atau terputus-putus, agar memudahkan orang tidak lupa.
Sejalan dengan pandangan beliau adalah tentang pembahasan mengenai bahasa Arab pada zaman sekarang, dianjurkan agar diajarkan kitab-kitab mutolaah yang menyajikan topic pembahasan satu macam dalam beberapa pertemuan yang berturut-turut dengan menggalakkan keinginan untuk menserasikan dan menganalisa isi kitab dengan mengaitkan antara satu sama lain kedalam jiwa anak.
Menurut ibnu Khaldun ilmu adalah penguasaan dan penguasaaan ilmu itu tidaklah tetap keadaannya kuat kemampuannya kecuali dengan mempraktikkan terus-menerus atau mengulang-ulanginya. Jika dalam waktu lama tidak dipraktekkan maka penalaran akan terlu]pakan dan guru juga melupakannya, serta kemampuan murid untuk menguasai mata pelajaran tersebut juga mengalami kepunahan. 
f.       Tidak Mencampuradukkan Antara Dua Ilmu Pengetahuan Dalam Satu Waktu.
Ibnu Khaldun menganjurkan agar guru tidak mengajarkan dua ilmu dalam satu waktu kepada muridnya karena sebelum memperoleh salah satu ilmu, akan mengakibatkan terpecahnya konsentrasi pikiran dan melepaskan ilmu yang lainnya untuk memahami problematika yang lain. Hal ini mengakibatkan kerugian dan kesulitan. Jika ia telah menyelesaikan satu ilmu, maka ilmu itu menjadi sarana yang dapat menciptakan keberhasilan memecahkan dan memahami problema-problemanya.
Pandangan beliau tersebut menunjukkan bahwa takhassus ilmu itu penting;karena tak mungkin orang menguasai seluruh rahasia ilmu dari sekian banyak ilmu dan memahami detail-detailnya tanpa menuntaskan studi ilmu itu. Begitu juga pendapat beliau, bahwa tak mungkin mengajar anak dengan problema-problema dari dua macam ilmu yang berbeda.
Menurut pemakalah pemikiran Ibnu Khaldun yang menyarankan agar seorang guru mengajar hanya satu ilmu saja kepada peserta didik hingga ia menguasainya setelah itu barulah seorang peserta didik mempelajari ilmu lainnya sehingga tidak mengganggu konsentrasi belajarnya. Hal ini berbeda dengan pendidikan modern pada saat ini, dimana seorang peserta didik dianjurkan untuk mempelajari lebih dari satu ilmu agar memiliki pengetahuan yang lebih luas dan bervariasi.
Namun Ibnu Khaldun secara tegas menekankan bahwa pola pendidikan anak harus didasarkan pada proses belajar satu macam ilmu saja, dan jika satu macam ilmu telah dipahami benar baru beralih ke ilmu lain.
g.      Tidak Mendidik Anak Dengan Jalan Kekerasan.
Dalam kitab Al-Muqaddimah hal.619 pada pasal “kekerasan terhadap anak sangat membahayakan”,[22] Ibnu Khaldun menganjurkan agar bersikap kasih sayang kepada anak dan tidak menggunakan kekerasan terhadap mereka, karena sikap kasar atau kekerasan dalam mengajar membahayakan jasmani anak didik, jika anak diperlakukan secara kasar dan keras, menjadi sempit hatinya, dan hilang kecerdasannya, bahkan ia akan terdorong untuk berdusta, malas, dan berbuat kotor, dan saat itu anak tidak dapat menyatakan apa yang tergetar dalam hati kecilnya, akhirnya rusaklah makna kemanusiaan dalam dirinya sejak masa kanak-kanak.
Beliau menganjurkan agar guru-guru, dan orang tua anak, tidak berlaku kejam dalam mengajar dan mendidik anaknya. Kata beliau: “Di antara mazhab yang paling baik dalam pendidikan/pengajaran ialah seperti yang dilukiskan oleh Harun Al-Rasyid dalam wasiatnya kepada pendidik putranya Al-Amin, yang bernama Abul Hasan Ali bin Hamzah al-Kissai. Wasiatnya berdasarkan atas 2 macam prinsip.Prinsip pertama; langkah-langkah mengajar yang dianjurkan oleh Harun Al-Rasyid untuk anaknya’Al-Amin, dan prinsip Kedua ialah metode praktis yang harus dipergunakan dalam prosedur mengajar dan mendidik anaknya.
Apa yang diwasiatkan oleh Al-Rasyid menjelaskan tentang prinsip hukuman sebagai alat mendidik yang penting. Akan tetapi jangan dilakukan oleh pendidik kecuali dalam keadaan terpaksa karena tidak ada jalan lain sesudah semua cara lemah lembut tak berhasil.[23]



BAB III
PENUTUP

Kesimpulan
Abdur Rahman Ibnu Khaldun adalah salah satu tokoh islam yang terkenal pada zaman pertengahan. Banyak pemikiran-pemikiran yang beliau sumbangkan dalam dunia pendidikan maupun sejarah dan ilmu-ilmu lainnya, sehingga beliau terkenal dengan tokoh yang cerdas dan berpendidikan.
Hal ini terbukti dengan banyaknya karya-karya beliau yang telah tersebar diantaranya karya-karya beliau yang masyhur yaitu Muqoddimahdan sejarah Alam Semesta.
Ibnu Khaldun memberikan pemikirannya tentang tujuan pendidikan yaitu untuk membuat kaum muslimin percaya dan meyakini Tuhan melalui mempelajari Al-Quran dan ilmu pengetahuan keagamaan. Ilmu pengetahuan yang berkenaan dengan keyakinan dan hukum islam akan membuat kaum muslimin mengetahui realitas yang diarahkan pada upaya mendapatkan akhlak dan tingkah laku yang baik. Dengan demikian ilmu pengetahuan islam dan tujuan hidupnya akan sejalan dengan ajaran islam dan akan menolongnya untuk menjadi muslim yang baik dan anggota masyarakat yang baik pula.
Ibnu Khaldun juga berpendapat bahwa tidak cukup bagi seorang guru hanya membekali anak dengan ilmu pengetahuan saja agar mereka menjadi orang yang berilmu pengetahuan yang menambah pengetahuannya dalam belajar.Namun, anak didik perlu juga dibekali dengan beberapa metode dalam panyampian ilmu tersebut.



DAFTAR PUSTAKA

Al-Abrasyi, Muhammad Athiyah.Beberapa Pemikiran Pendidikan Islam.Yogyakarta: Titihan Ilahi,1996.
Al-Jumbulati, Ali dan Abdul Futuh At-Tuwaanisi.Perbandingan Pendidikan Islam. Jakarta: PT RINEKA CIPTA, 1994.
Alavi, S. M. Zianuddin.Pemikiran Pendidikan Islam pada Abad Klasik dan Pertengahan.Bandung: Angkasa, 2003.
Nata, Abuddin.Filsafat Pendidikan Islam.Jakarta: Gaya Media Pratama, 2005.
Ramayulis dan Samsul Nizar.Filsafat Pendidikan Islam. Jakarta: KALAM MULIA, 2011.



[1] S. M. Zianuddin Alavi, Pemikiran Pendidikan Islam pada Abad Klasik dan Pertengaha, (Bandung: Angkasa, 2003), 72.
[2]Ibid., 69-70.
[3] Abuddin Nata, Filsafat Pendidikan Islam (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2005), 222.
[4]Ibid., 222-223..
[5]Ali Al-Jumbulati dan Abdul Futuh At-Tuwaanisi, Perbandingan Pendidikan Islam, (Jakarta: PT RINEKA CIPTA, 1994), 192.
[6] S. M. Zianuddin Alavi, Pemikiran Pendidikan Islam pada Abad Klasik dan Pertengaha, (Bandung: Angkasa, 2003), 70.
[7] Abuddin Nata, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2005), 223.
[8]Ali Al-Jumbulati dan Abdul Futuh At-Tuwaanisi, Perbandingan Pendidikan Islam, (Jakarta: PT RINEKA CIPTA, 1994), 195-196.
[9]Ibid., 196.
[10]Ibid., 196.
[11] Abuddin Nata, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2005), 224-225.
[12] S. M. Zianuddin Alavi, Pemikiran Pendidikan Islam pada Abad Klasik dan Pertengaha, (Bandung: Angkasa, 2003), 72.
[13] Abuddin Nata, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2005), 225-226.
[14]Ibid., 226.
[15]Ibid., 226.
[16]Ramayulis dan Samsul Nizar, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: KALAM MULIA, 2011),283.
[17]Ibid., 284.
[18] S.M. Zainuddin Alavi, Pemikiran Pendidikan Islam Pada Abad Klasik Dan Pertengahan, (Bandung: Angkasa,2003), 75.
[19] Ali Al Jumbulati, Perbandingan Pendidikan ISLAM, (Jakarta: Rineka Cipta, 1994), 201.
[20]Ibid., 202
[21]Ibid.,203.
[22] Muhammad Athiyah Al-Abrasyi, Beberapa Pemikiran Pendidikan Islam, (Yogyakarta: Titihan Ilahi,1996), 108.
[23] Ali Al Jumbulati, Perbandingan Pendidikan ISLAM, (Jakarta: Rineka Cipta, 1994), 210.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar