Kolaborasi Perspketif Antara Sosiologi dengan Pendidikan Islam
Oleh : Khoirul Anam Muawwan
A.
Perspektif
Dalam Sosiologi Pendidikan Islam
1. Perspektif Struktural Fungsional
Menurut
teori inimasyarakat merupakan system social yang terdiri atas bagian-bagian
atau elemen yang saling berkaitan dan saling menyatu dalam keseimbangan.
Perubahan yang terjadi pada satu bagian akan membawa perubahan pula terhadap
bagian yang lain. Asumsi dasarnya adalah bahwa setiap struktur dalam system
social, fungsioanl terhadap yang lain. Sebaliknya kalau tidak fungsional maka
struktur itu tidak akan ada atau akan hilang dengan sendirinya. Penganut teori
ini cenderung untuk melihat hanya kepada sumbangan satu system atau peristiwa
terhadap system yang lain karena itu mengabaikan bahwa suatu peristiwa atau
suatu system dapat beroperasi menentang fungsi-fungsi lainnya dalam suatu
system social. Secara ekstrim penganut teori ini beranggapan bahwa semua peristiwa
dan semua struktur adalah fungsional bagi suatu masyarakat.Dengan demikian pada
tingkat tertentu umpamanya peperangan, ketidaksamaan social, perbedaan ras
bahkan kemiskinan “diperlukan” oleh suatu masyarakat.Perubahan dapat terjadi
secara perlahan-lahan dalam masyarakat. Kalau terjadi konflik, penganut teori
fungsionalisme structural memusatkan perhatiannya kepada masalah bagaimana cara
menyelesaikannya sehingga masyarakat tetap dalam keseimbangan.[1]
Para
penganut structural fungsional percaya bahwa masyarakat cenderung bergerak
menuju ekuilibrium dan mengarah kepada terciptanya tertib nasional.Mereka
memandang masyarakat seperti tubuh manusia, sehingga masyarakat dipandang
sebagai institusi yang bekerja seperti organ tubuh manusia.Masyarakat dikatakan
sehat jika tercipta tertib social. Hal ini akan tercapai jika setiap orang
bersedia menyesuaikan diri dengan nilai-nilai kolektif yang tumbuh dalam
masyarakat. Oleh karena itu perspektif structural fungsional menyakini bahwa
tujuan utama dari institusi penting di masyarakat, seperti pendidikan adalah
mensosialisasikan generasi muda menjadi anggota masyarakat.[2]
Sosialisasi
merupakan proses yang dapat dijadikan tempat pembelajaran bagi generasi muda
untuk mendapatkan pengetahuan, perubahan prilaku dan penguasaan tata nilai yang
mereka perlukan agar bisa tampil sebagai bagian dari warga negara yang
produktif. Perspektif structural fungsional memang mengarhkan focus kajian
pendidikan terhadap urusan nilai-nilai dan budaya, sosialisasi, stratifikasi,
perubahan, pelembagaan, konflik, dan kohesi social, aksi dan interaksi serta pola-pola relasi. Biasanya sosialisasi
nilai seperti yang diandaikan oleh kaum strukturalis fungsional seperti itu
dituangkan dalam kurikulum formal, namun pada prakteknya seringkali dilakukan
dengan cara indroktinasi nilai dan norma masyarakat. Pendidikan dengan demikian
harus diperankan sebagai penjaga nilai-nilai social dan institusi penegak
tertib nasional.[3]
Tegasnya
pendidikan harus memainkan peran dan fungsinya mencerdaskan warga masyarakat,
karena pendidikan adalah kunci terpenting dalam menentukan keberhasilan
seseorang dalam membangun kehidupan. Oleh karena itu para penganut fungsionalis
memfokuskan perhatiannya kepada proses kependidikan dalam menjamin tertib
social. Mereka melakukan pengamatan dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan typical,
sepertiapakah fungsi pendidikan bagi masyarakat secara keseluruhan?Dalam hal
ini para fungsionalis mengandaikan pendidikan bertugas untuk memelihara
konsensus dan solidaritas social. Konsensus dan solidaritas social itu
merupakan titik tolak terwujudnya masyarakat yang harmoni, tempat dimana
masyarakat biasa memperoleh segala apa yang diinginkan. Para fungsionalis juga
mengajukan pertanyaan typical yang jawabannya berguna untuk melihat
apakah pendidikan memiliki sumbangan dan relevensi bagi aspek kehidupan
lainnya.[4]
Para
fungsionalis berfikiran bahwa pendidikan harus memiliki relevensi dengan
pengembangan system ekonomi dan demikian juga relevensinya dengan upaya
membantu mengintegrasikan masyarakat.[5]
2. Perspektif Struktural Konflik
Perspektif ini melihat
masyarakat sebagai sesuatu yang selalu berubah, terutama sebagai akibat dari
dinamika pemegang kekuasaan yang terus berusaha memelihara dan meningkatkan
posisinya.Perspektif ini beranggapan bahwa kelompok-kelompok tersebut mempunyai
tujuan sendiri yang beragam dan tidak pernah terintegrasi. Dalam mencapai
tujuannya, suatu kelompok seringkali harus mengorbankan kelompok lain. Karena
itu konflik selalu muncul, dan kelompok yang tergolong kuat setiap saat selalu
berusaha meningkatkan posisinya dan memelihara dominasinya.
Asumsi utama dalam
prespektif ini ada empat:
a.
Setiap masyarakat tunduk
kapada proses perubahan.
b.
Disensus dan konflik
terdapat dimana-mana.
c.
Setiap unsur masyarakat
memberikan sumbangan pada terjadinya disintegrasi dan perubahan masyarakat.
d.
Setiap masyarakat
didasarkan pada paksaan beberapa orang anggota terhadap anggota lainnya.
Dengan kata lain perubahan
social dalam masyarakat menurut prespektif ini merupakan sebuah proses yang
tidak dapat dihindarkan. Setiap masyarakat selalu mengalami perubahan baik
lambat maupun cepat.[6]
Berghe mengemukakan empat
fungsi dari konflik:[7]
a.
Sebagai alat untuk
memelihara solidaritas.
b.
Membantu menciptakan
ikatan aliansi dengan kelompok lain,
c.
Mengaktifkan peranan
individu yang semula terisolasi.
d.
Fungsi komunikasi. Sebelum
konflik kelompok tertentu mungkin tidak mengetahui posisi lawan. Tapi dengan
adanya konflik, posisi dan batas antar kelompok menjadi lebih jelas. Individu
dan kelompok tahu secara pasti dimana mereka berdiri dan karena itu dapat
mengambil keputusan lebih baik untuk bertindak lebih tepat.
Ciri lain dari perspektif
ini adalah cenderung memandang nilai dan moral sebagai rasionalisasi untuk
keberadaan kelompok yang berkuasa. Dengan demikian kekuasaan tidak melekat
dalam diri individu, tetapi pada posisi orang dalam masyarakat.Pandangan ini
juga menekankan bahwa fakta sosial adalah bagian dari masyarakat dan eksternal
dari sifat-sifat individual.Singkatnya, pandangan ini berorientasi pada studi
struktur sosial dan lembaga-lembaga sosial.Ia memandang masyarakat terus-menerus
berubah dan masing-masing bagian dalam masyarakat potensial memacu dan
menciptakan perubahan sosial. Dalam konteks pemeliharaan tatanan sosial,
perspektif ini lebih menekankan pada peranan kekuasaan.Tokoh yang menganut
perspektif ini adalah Karl Marx dan Frederich Engles.
Memahami pemikiran Marx
yang terkenal dengan tokoh kapitalis mengenai Stratifikasi social, maka yang
harus dijelaskan tak lain adalah teori klas dari Marx. Teori klas Mark ini
berangkat dari pemikiran bahwa “ sejarah dari segala bentuk masyarakat atau
sejarah peradaban umat manusia dari dulu hingga sekarang adalah sejarah
pertikaian antar golongan atau konflik antarklas” analisa Marx selalu
mengemukakan bagaimana hubungan antar manusia terjadi dilihat dari hubungan
masing-masing terhadap sarana-sarana produksi, yaitu dilihat dari usaha yang
berbeda dalam mendapatkan sumber-sunber daya yang langka.
Bagi Marx, dasar dari
system stratifikasi tergantung pada hubungan kelompok-kelompok manusia terhadap
sarana produksi. Dalam konteks Kapitalis, Marx membedakan dua klas social,
yaitu klas borjuis yaitu klas pemilik modal dan yang menguasai alat-alat
produksi dan klas proletar yaitu klas pekerja yang hidupnya sangat
tergantung oleh pemilik modal yang memperkerjakan serta yang menguasai mereka.[8]
Di tengah pendidikan yang
dikonsep sebagai arena perjuangan antar klas, maka pendidikan harus bisa diubah
menjadi kekuatan yang bisa membebaskan diri dari operasi klas
dominan.Perjuangan ini harus dimulai dengan pemberian penyadaran terhadap
siswa, dan seluruh praktisi pendidikan.[9]Guru
di kelas harus mengajarkan pembebasan, menumbuhkan kesadaran kelas dan
membangkitkan perlawanan terhadap kaum borjuis.
Dalam prespektif pemikiran
seperti itu memiliki implikasi terhadap tiga hal yang berkaitan dengan
pendidikan:[10]
a.
Implikasi terhadap cara
mendifinisikan pendidikan. Dalam hal ini pendidikan dianggap sebagai
kepanjangan dari kelompok dominan.
b.
Penetapan prioritas
pendidikan, dalam hal ini kebijakan dan proses pendidikan harus dapat memutus
hubungan dengan budaya kelompok dominan.
c.
Implikasi terhadap
strategi perencanaan pendidikan harus menanamkan ideology dominan.
1. Perspektif Konstruksionis
Perspektif
ini menggagas perbedaan filsafat yang berkembang di Jerman.Saat itu
diperdebatkan pengetahuan naturalistic dan kultural.Perspektif ini beranggapan
bahwa perilaku manusia secara fundamental berbeda dengan perilaku alam.Manusia
selalu bertindak sebagai agen yang mengkonstruk realitas kehidupan social. Cara
melakukan tergantung cara mereka memahami atau memebrikan makna terhadap
dunianya. Oleh karena itu, maka tugas sosiologi adalah memahami cara agen
melakukan penafsiran, memberi makna secara realitas. Makna itu adalah makna
partisipan yakni agen yang melakukan konstruk melalui satu proses partisipasi
dalam kehidupan dimana ia hidup.[11]
Di Amerika, George Herberd Mead membangun tradisi
yang kemudian dikenal dengan teori interaksionisme simbolik, sebuah pendekatan
yang memanfaatkan jasa psikolog social, dengan mengandaikan bahwa hubungan
antara actor dibangun dalam pola-pola bahasa komunikasi. Komunikasi merupakan
medium yang dipakai masyarakat untuk memahami actor.Dengan medium itu mereka
berbagi pemahaman mengenai realitas yang muncul dalam masyarakat.Actor memahami
realitas melalui symbol-simbol yang mereka gunakan dalam interaksi.Bahasa
adalah symbol yang paling banyak diapakai dalaminteraksi individu dengan
individu lainnya.[12]
Di Eropa, tradisi konstruksionisme ini memunculkan
sosiologi fenomenologis. Tradisi ini sangat dipengaruhi oleh karya-karya Weber
melalui Alfred Schutz.Schutz membaca karya Weber dari sudut pandang filsafat
Eropa, yang dikenal dengan filsafat Fenomologi dari Bergson dan Husserl.Dari
Schutz inilah muncul sosiologi fenomologi.Sosiologi fenomologi memfokuskan
kajiannya kepada cara-cara yang dilakukan actor dalam memahamidan menafsirkan dunia
social dengan memperhatikan penerapan data ke dalam tipifikasi atau
penggambaran secara mental.Schutz membahas cara-cara individu melakuakn
tipifikasi dengan menghubungkan pemahaman secara intersubjektif, disamping juga
menghubungkan antara penggambaran yang dibuat sosiolog dengan penggambaran yang
dibuat actor.[13]
Sementara itu tradisi kontruksionis yang berakar
dari fenomenologi Amerika yang radikal yang tumbuh berkembang pada tahun
1970-an, muncul dalam bentuk tradisi yang disebut dengan perspektif etnometodologi.Tradisi
ini beranggapan bahwa tidak mungkin melakukan penggambaran dunia social secara
ilmiah. Oleh karena itu cara melakukan penggambaran yang paling mungkin
dilakukan oleh sosiolog satu-satunya adalah melakukan penggambaran sesuai dengan apa yang dilakukan oleh sang actor.[14]
Sedangkan teori Strukturasi yang dilahirkan sosiolog
dari Inggris, Anthony Giddens, mencoba memperlihatkan bahwa dalam kehidupan
social terdapat hubungan antara tindakan pemahaman atau penafsiran dengan
munculnya system social yang stabil yang berkembang di luar individu dalam
dalamskala yang luas. Menurutnya situasi ini merupakan sesuatu yang berada di
luar konsekuensi dari cara actor menggambarkan tindakan yang mereka lakukan.
Setiap tindakan individu tersebut adalah dalam rangka mewujudkan tujuan dan
keinginan personal.[15]
Soisologi pendidikan yang mendasakan pada perspektif
konstruktivisme dalam hal ini memfokuskan kepada pemahaman siswa. Dalam
pendidikan konstruktivistik, pembelajaran dipandang sebagai proses yang
dikendalikan sendiri oleh siswa. Pembelajaran mengembangkan pengetahuan yang
dimiliki oleh siswa dilakukan di tempat mana siswa sebagai pertisipan.
Perspektif ini menekankan kepada proses pembelajaran kolaboratif, sehingga
proses pembelajarannya dilakukan bersama. Siswa diberi fasilitas untuk
berinteaksi dengan lingkungannya disertai dnegan proses refleksi diri.[16]
Paradigm kontruktivistik menjadikan siswa aktif dan
menentukan apa yang harus dipikirkan dan dipelajari. Fokusnya dalamhal ini
diarahkan kepada cara bagaiamana siswa mengkonstruk makna tentang kehidupan dan
dunianya. Mereka adalah individu-individu yang aktif membentuk makna yang
dijadikan dasar menciptakan struktur pemahaman tentang dunianya, sehingga lahir
konsep, prinsip-prinsip, dan model atau skema mental siswa.Ilmu pengetahuan
yang telah diperoleh sebelumnya sebagai Sesuatu yang penting.Ia menentukan
kememapuan mereka dalam mempelajari bahan-bahan pembelajaran baru.[17]
Paradigm konstruktivistik menekankan pada pemahaman
(understanding) dan juga menghapus misunderstanding, serta
memecahkan persoalan dalam konteks pemaknaan yang dimiliki siswa. Proses
startegis yang dilakukan dimulai dari cara pemikiran deduktif dan digabungkan
dengan pemikiran induktif. Dengan demikian siswa mengetahui prinsip-prinsip
yang mendasari suatu fakta atau data lapangan yang dijumpai, yang fakta atau
data itu diolah melalui proses induktif. Namun demikian, guru dalam hal ini
didorong untuk menghargai nilai-nilai pengetahuan dan pengalaman siswa yang
telah dimiliki dan dibawa dalam proses pembelajaran. Guru juga didorong untuk memberikan pengelaman dan bukan sekedar
pengetahuan, sehingga siswa akan memproleh bekal yang berharga untuk menghadapi
kehidupannya. Pendidikan dengan demikian merupakan proses transfer of
knowledge sekaligus experiences.[18]
B.
Intrepetasi
Sistem Pendidikan Islam
Istilah sistem berasal
dari bahasa Yunani (systema) yang berarti sehimpunan bagian atau komponen yang
saling berhubungan secara teratur dan merupakan satu keseluruhan. Sistem
didefenisikan sebagai satu keseluruhan dari sejumlah komponen yang saling
berhubungan dan berfungsi dalam mengubah masukan (input) menjadi hasil (output)
sesuai tujuan yang telah ditetapkan.[19]Tujuan
suatu sistem adalah untuk mencapai suatu tujuan (goal) atau mencapai suatu
sasaran (objectives).Goal meliputi ruang lingkup yang luas sedangkan objectives
meliputi ruang lingkup yang sempit.
Dengan demikian, sistem
merupakan suatu totalitas dari bagian-bagian yang saling berhubungan, dimana
fungsi dari totalitas tersebut berbeda dengan jumlah fungsi dari
bagian-bagiannya. Contohnya mobil, sepeda motor, komputer, jam tangan, tubuh
manusia, organisasi kemahasiswaan, pendidikan, perusahaan, ilmu, filsafat,
masing-masing wujud tersebut dapat dipandang sebagai sistem.
Menurut Gordon B. Davis,
William A. Shrode, dan Dan Voich, jenis-jenis sistem terdiri dari:
1.
Berdasarkan wujudnya, sistem dibedakan menjadi empat jenis yaitu sistem
fisik (mobil), sistem konseptual (ilmu), sistem biologi (tubuh manusia), dan
sistem sosial (sekolah).
2.
Berdasarkan asal usul kejadiannya, sistem dibedakan menjadi dua jenis
yaitu sistem alamiah (tata surya) dan sistem buatan manusia (pendidikan).
3.
Berdasarkan daya gerak yang ada di dalamnya, sistem dibedakan menjadi dua
jenis yaitu sistem mekanistik/deterministic (sepeda motor) dan sistem organismik/probabilistic
(organisasi).
4.
Berdasarkan hubungan dengan lingkungannya, sistem dibedakan menjadi dua
jenis yaitu sistem terbuka (sistem yang berinteraksi dan memiliki
ketergantungan kepada lingkungan atau sistem lain yang ada di dalam
suprasistemnya, mengambil input dari lingkungannya dan memberikan output kepada
lingkungannya dan sistem tertutup (sistem yang tidak berhubungan dengan
lingkungan).[20]
Ciri-ciri umum suatu sistem adalah:[21]
1.
Merupakan suatu kesatuan atau holistic.
2.
Memiliki bagian-bagian yang tersusun sistematis dan berhierarki.
3.
Bagian-bagian itu berelasi satu dengan yang lain
4.
Konsen/peduli terhadap konteks lingkungannya.
Contohnya bolpoin sebagai
suatu sistem merupakan suatu kesatuan.Bagiannya terdiri dari tutup dan
badan.Badan terdiri dari bagian luar dan isi.Isi terdiri dari buluh, tinta, dan
bola/ujung. Bagian-bagian itu adalah bertingkat atau berhierarki dan berelasi
satu dengan yang lain. Sedangkan konsep terhadap lingkungan tampak pada
badannya yang enak dipegang ketika menulis, bola/ujungnya lancip sehingga
tulisan menjadi baik, dan tutupnya diisi cantelan sehingga bisa digantungkan di
kantong.
Suatu sistem biasanya
disajikan dalam bentuk model. Menurut Elias M. Awad, model adalah suatu
representasi sistem yang nyata atau yang direncanakan. Murdick dan Ross
menjelaskan bahwa model merupakan abstraksi realitas, namun karena model tidak
mampu menyajikan realitas secara rinci atau detail maka model hanya menyajikan
bagian-bagian atau ciri-ciri tertentu yang penting saja dari realitas.Karhi
Nisjar S dan Winardimenjelaskan bahwa salah satu cara menggambarkan sistem
adalah dengan menekankan unsur input, proses, dan outputnya.[22]
Pendidikan merupakan sistem
terbuka, sebab tidak mungkin pendidikan dapat melaksanakan fungsinya dengan
baik bila ia mengisolasi diri dengan lingkungannya. Faktor-faktor yang
mempengaruhi pendidikan adalah filsafat negara, agama, sosial, kebudayaan,
ekonomi, politik, dan demografi.Ketujuh faktor ini merupakan suprasistem dari
sistem pendidikan.[23]
Jadi pendidikan sebagai
sistem berada bersama, terikat, dan tertenun di dalam suprasistemnya yang
terdiri dari tujuh sistem tersebut di atas.Berarti membangun suatu lembaga
pendidikan baru atau memperbaiki lembaga pendidikan lama, tidak dapat
memisahkan diri dari suprasistem tersebut.
Pendidikan dapat
didefenisikan sebagai keseluruhan yang terpadu dari sejumlah komponen yang
saling berinteraksi dan melaksanakan fungsi-fungsi tertentu dalam rangka
membantu anak didik agar menjadi manusia terdidik sesuai tujuan yang telah
ditetapkan.Ditinjau dari asal usul kejadiannya, pendidikan tergolong kepada
sistem buatan manusia (a man made system); ditinjau dari wujudnya, pendidikan
tergolong kepada sistem sosial, sedangkan jika ditinjau dari hubungan dengan
lingkungannya pendidikan merupakan sistem terbuka.[24]
Setelah membahas
pendidikan sebagai sistem di tengah-tengah suprasistemnya, pembahasan
dilanjutkan dengan lembaga pendidikan sebagai sistem.Sistem sekolah atau
perguruan tinggi dalam garis besarnya terdiri dari subsistem-subsistem tujuan,
manajemen, prosesing peserta didik, dan lingkungan. Selanjutnya system lembaga
atau organisasi pendidikan bila ditinjau dari instrument untuk memproses
peserta didik memiliki subsistem dan sub-subsistem sebagai berikut:
1.
Subsistem perangkat lunak yang mencakup :
a.
Sub-subsistem manajemen
b.
Sub-subsistem struktur
c.
Sub-subsistem teknik
d.
Sub-subsistem bahan pelajaran
e.
Sub-subsistem informasi
2.
Subsistem perangkat keras yang mencakup :
a.
Sub-subsistem prasarana seperti jalan, lapangan olahraga, dan halaman
sekolah
b.
Sub-subsistem sarana/fasilitas seperti gedung, laboratorium, perpustakaan,
media pendidikan, alat-alat belajar, dan alat-alat peraga
c.
Sub-subsistem biaya
d.
Sub-subsistem orang mencakup pengelola, pengawas, pendidik, pembimbing,
dan tenaga-tenaga penunjang pendidikan lainnya.
Sistem manajemen mencakup subsistem-subsistem struktur, teknik,
personalia, informasi, dan lingkungan. Pendidikan sebagai sistem adalah sistem
pengembangan input menjadi output atau pengembangan peserta didik baru masuk
sampai lulus adalah:
1.
Subsistem input : peserta didik yang baru masuk
2.
Subsistem proses : proses belajar mengajar
3.
Subsistem output : lulusan lembaga pendidikan itu
Bila proses belajar mengajar dipandang sebagai sistem, maka
subsistem-subsistemnya adalah bahan pelajaran, metode belajar mengajar, alat
belajar/alat peraga/media belajar, lingkungan/iklim belajar,
manajemen/administrasi kelas, para siswa/mahasiswa, pendidik, pengawas, dan
evaluasi/umpan balik.[25]
Philip H.Coombs mengidentifikasi adanya 12 komponen pokok sistem
pendidikan yaitu:
1.
Tujuan dan prioritas, fungsinya untuk mengarahkan kegiatan system
2.
Anak didik, fungsinya belajar hingga mencapai tujuan pendidikan
3.
Pengelolaan, fungsinya merencanakan, mengkoordinasikan, mengarahkan, dan
menilai system
4.
Struktur dan jadwal, fungsinya mengatur waktu dan mengelompokkan anak
didik berdasarkan tujuan tertentu
5.
Isi/kurikulum, fungsinya sebagai bahan yang harus dipelajari anak didik
6.
Pendidik/guru, fungsinya menyediakan bahan, menciptakan kondisi belajar,
dan menyelenggarakan pendidikan
7.
Alat bantu belajar, fungsinya memungkinkan proses belajar mengajar
menarik, lengkap, dan bervariasi
8.
Fasilitas, fungsinya sebagai tempat terselenggaranya pendidikan
9.
Teknologi, fungsinya mempermudah atau memperlancar pendidikan
10.
Pengawasan mutu, fungsinya membina peraturan dan standar pendidikan
11.
Penelitian, berfungsi mengembangkan pengetahuan, penampilan sistem, dan
hasil kerja system
12.
Biaya, berfungsi sebagai petunjuk efisiensi sistem
Dalam sistem pendidikan terjadi proses transformasi yaitu proses mengubah
raw input (anak didik) agar menjadi manusia terdidik sesuai tujuan yang telah
ditetapkan. Dalam hal ini, semua komponen pendidikan melaksanakan fungsinya
masing-masing dan berinteraksi satu sama lain yang mengarah kepada pencapaian
tujuan pendidikan. Adapun output atau hasilnya adalah manusia terdidik yang
diperuntukkan bagi masyarakat atau sistem lain yang berada di dalam suprasistem.
Dalam sistem pendidikan terdapat komponen pengawasan mutu atau kontrol
kualitas.Pelaksanaan fungsi komponen ini akan menghasilkan umpan balik yang
digunakan untuk melaksanakan koreksi untuk proses transformasi berikutnya.
Dengan adanya kontrol kualitas yang menghasilkan feedback untuk melakukan
perbaikan dalam proses transformasi berikutnya, ini diharapkan agar sistem
pendidikan mampu mempertahankan eksistensi dan meningkatkan prestasinya.[26]
Jadi makna memandang pendidikan sebagai sistem adalah dalam menangani
pendidikan, baik mempertahankan yang sudah ada, memperbaiki, maupun mengadakan
sesuatu yang baru hendaklah memperhatikan bagian-bagiannya atau semua
subsistemnya secara berimbang atau proporsional. Hanya dengan cara ini
perbaikan dan kemajuan pendidikan diharapkan tercapai.
[1] George Ritzer,
Sosiologi Ilmu Pengetahuan Berparadigma Ganda, (Jakarta: PT Raja
Grafindo Persada, 2011), 21-22.
[2] Zaiuddin
Maliki, Sosiologi Pendidikan, (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press,
2010), 44.
[3]Zaiuddin
Maliki.
[4]Zaiuddin
Maliki, 45.
[5]Zaiuddin
Maliki.
[6] Nanang
Martono, Kekerasan Simbolik DI Sekolah, (Jakarta : PT Raja Drafindo
Persada, 2012), 23
[7] George Ritzer,
29.
[8] Zaiuddin
Maliki, 172.
[9] Zaiuddin
Maliki, 173.
[10] Zaiuddin
Maliki, 174.
[11]Zaiuddin
Maliki,202.
[12]Zaiuddin
Maliki.
[13]Zaiuddin
Maliki,203.
[14]Zaiuddin
Maliki.
[15]Zaiuddin
Maliki,203-204.
[16]Zaiuddin
Maliki, 204.
[17]Zaiuddin
Maliki,205-206.
[18]Zaiuddin
Maliki, 206.
[19]Dinn Wahyudin, Pengantar Pendidikan,
(Jakarta :Universitas Terbuka, 2008), 84.
[20]Dinn Wahyudin, 84-85.
[21]Made Pidarta, Landasan Kependidikan,
(Jakarta : Rineka Cipta, 2007), 28.
[22]Dinn Wahyudin,86.
[23]Made Pidarta, 30-31.
[24]Dinn Wahyudin, 87.
[25]Made Pidarta, 32-34.
[26]Dinn Wahyudin, 89-90.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar