Senin, 15 Juni 2015

Sosiologi Pendidikan Islam

Kolaborasi Perspketif Antara Sosiologi dengan Pendidikan Islam
Oleh : Khoirul Anam Muawwan

A.    Perspektif Dalam Sosiologi Pendidikan Islam
1.      Perspektif Struktural Fungsional
Menurut teori inimasyarakat merupakan system social yang terdiri atas bagian-bagian atau elemen yang saling berkaitan dan saling menyatu dalam keseimbangan. Perubahan yang terjadi pada satu bagian akan membawa perubahan pula terhadap bagian yang lain. Asumsi dasarnya adalah bahwa setiap struktur dalam system social, fungsioanl terhadap yang lain. Sebaliknya kalau tidak fungsional maka struktur itu tidak akan ada atau akan hilang dengan sendirinya. Penganut teori ini cenderung untuk melihat hanya kepada sumbangan satu system atau peristiwa terhadap system yang lain karena itu mengabaikan bahwa suatu peristiwa atau suatu system dapat beroperasi menentang fungsi-fungsi lainnya dalam suatu system social. Secara ekstrim penganut teori ini beranggapan bahwa semua peristiwa dan semua struktur adalah fungsional bagi suatu masyarakat.Dengan demikian pada tingkat tertentu umpamanya peperangan, ketidaksamaan social, perbedaan ras bahkan kemiskinan “diperlukan” oleh suatu masyarakat.Perubahan dapat terjadi secara perlahan-lahan dalam masyarakat. Kalau terjadi konflik, penganut teori fungsionalisme structural memusatkan perhatiannya kepada masalah bagaimana cara menyelesaikannya sehingga masyarakat tetap dalam keseimbangan.[1]
Para penganut structural fungsional percaya bahwa masyarakat cenderung bergerak menuju ekuilibrium dan mengarah kepada terciptanya tertib nasional.Mereka memandang masyarakat seperti tubuh manusia, sehingga masyarakat dipandang sebagai institusi yang bekerja seperti organ tubuh manusia.Masyarakat dikatakan sehat jika tercipta tertib social. Hal ini akan tercapai jika setiap orang bersedia menyesuaikan diri dengan nilai-nilai kolektif yang tumbuh dalam masyarakat. Oleh karena itu perspektif structural fungsional menyakini bahwa tujuan utama dari institusi penting di masyarakat, seperti pendidikan adalah mensosialisasikan generasi muda menjadi anggota masyarakat.[2]
Sosialisasi merupakan proses yang dapat dijadikan tempat pembelajaran bagi generasi muda untuk mendapatkan pengetahuan, perubahan prilaku dan penguasaan tata nilai yang mereka perlukan agar bisa tampil sebagai bagian dari warga negara yang produktif. Perspektif structural fungsional memang mengarhkan focus kajian pendidikan terhadap urusan nilai-nilai dan budaya, sosialisasi, stratifikasi, perubahan, pelembagaan, konflik, dan kohesi social, aksi dan interaksi  serta pola-pola relasi. Biasanya sosialisasi nilai seperti yang diandaikan oleh kaum strukturalis fungsional seperti itu dituangkan dalam kurikulum formal, namun pada prakteknya seringkali dilakukan dengan cara indroktinasi nilai dan norma masyarakat. Pendidikan dengan demikian harus diperankan sebagai penjaga nilai-nilai social dan institusi penegak tertib nasional.[3]
Tegasnya pendidikan harus memainkan peran dan fungsinya mencerdaskan warga masyarakat, karena pendidikan adalah kunci terpenting dalam menentukan keberhasilan seseorang dalam membangun kehidupan. Oleh karena itu para penganut fungsionalis memfokuskan perhatiannya kepada proses kependidikan dalam menjamin tertib social. Mereka melakukan pengamatan dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan typical, sepertiapakah fungsi pendidikan bagi masyarakat secara keseluruhan?Dalam hal ini para fungsionalis mengandaikan pendidikan bertugas untuk memelihara konsensus dan solidaritas social. Konsensus dan solidaritas social itu merupakan titik tolak terwujudnya masyarakat yang harmoni, tempat dimana masyarakat biasa memperoleh segala apa yang diinginkan. Para fungsionalis juga mengajukan pertanyaan typical yang jawabannya berguna untuk melihat apakah pendidikan memiliki sumbangan dan relevensi bagi aspek kehidupan lainnya.[4]
Para fungsionalis berfikiran bahwa pendidikan harus memiliki relevensi dengan pengembangan system ekonomi dan demikian juga relevensinya dengan upaya membantu mengintegrasikan masyarakat.[5]

2.      Perspektif Struktural Konflik
Perspektif ini melihat masyarakat sebagai sesuatu yang selalu berubah, terutama sebagai akibat dari dinamika pemegang kekuasaan yang terus berusaha memelihara dan meningkatkan posisinya.Perspektif ini beranggapan bahwa kelompok-kelompok tersebut mempunyai tujuan sendiri yang beragam dan tidak pernah terintegrasi. Dalam mencapai tujuannya, suatu kelompok seringkali harus mengorbankan kelompok lain. Karena itu konflik selalu muncul, dan kelompok yang tergolong kuat setiap saat selalu berusaha meningkatkan posisinya dan memelihara dominasinya.
Asumsi utama dalam prespektif ini ada empat:
a.         Setiap masyarakat tunduk kapada proses perubahan.
b.        Disensus dan konflik terdapat dimana-mana.
c.         Setiap unsur masyarakat memberikan sumbangan pada terjadinya disintegrasi dan perubahan masyarakat.
d.        Setiap masyarakat didasarkan pada paksaan beberapa orang anggota terhadap anggota lainnya.
Dengan kata lain perubahan social dalam masyarakat menurut prespektif ini merupakan sebuah proses yang tidak dapat dihindarkan. Setiap masyarakat selalu mengalami perubahan baik lambat maupun cepat.[6]
Berghe mengemukakan empat fungsi dari  konflik:[7]
a.       Sebagai alat untuk memelihara solidaritas.
b.      Membantu menciptakan ikatan aliansi dengan kelompok lain,
c.       Mengaktifkan peranan individu yang semula terisolasi.
d.      Fungsi komunikasi. Sebelum konflik kelompok tertentu mungkin tidak mengetahui posisi lawan. Tapi dengan adanya konflik, posisi dan batas antar kelompok menjadi lebih jelas. Individu dan kelompok tahu secara pasti dimana mereka berdiri dan karena itu dapat mengambil keputusan lebih baik untuk bertindak lebih tepat.
Ciri lain dari perspektif ini adalah cenderung memandang nilai dan moral sebagai rasionalisasi untuk keberadaan kelompok yang berkuasa. Dengan demikian kekuasaan tidak melekat dalam diri individu, tetapi pada posisi orang dalam masyarakat.Pandangan ini juga menekankan bahwa fakta sosial adalah bagian dari masyarakat dan eksternal dari sifat-sifat individual.Singkatnya, pandangan ini berorientasi pada studi struktur sosial dan lembaga-lembaga sosial.Ia memandang masyarakat terus-menerus berubah dan masing-masing bagian dalam masyarakat potensial memacu dan menciptakan perubahan sosial. Dalam konteks pemeliharaan tatanan sosial, perspektif ini lebih menekankan pada peranan kekuasaan.Tokoh yang menganut perspektif ini adalah Karl Marx dan Frederich Engles.
Memahami pemikiran Marx yang terkenal dengan tokoh kapitalis mengenai Stratifikasi social, maka yang harus dijelaskan tak lain adalah teori klas dari Marx. Teori klas Mark ini berangkat dari pemikiran bahwa “ sejarah dari segala bentuk masyarakat atau sejarah peradaban umat manusia dari dulu hingga sekarang adalah sejarah pertikaian antar golongan atau konflik antarklas” analisa Marx selalu mengemukakan bagaimana hubungan antar manusia terjadi dilihat dari hubungan masing-masing terhadap sarana-sarana produksi, yaitu dilihat dari usaha yang berbeda dalam mendapatkan sumber-sunber daya yang langka.
Bagi Marx, dasar dari system stratifikasi tergantung pada hubungan kelompok-kelompok manusia terhadap sarana produksi. Dalam konteks Kapitalis, Marx membedakan dua klas social, yaitu klas borjuis yaitu klas pemilik modal dan yang menguasai alat-alat produksi dan klas proletar yaitu klas pekerja yang hidupnya sangat tergantung oleh pemilik modal yang memperkerjakan serta yang menguasai mereka.[8]
Di tengah pendidikan yang dikonsep sebagai arena perjuangan antar klas, maka pendidikan harus bisa diubah menjadi kekuatan yang bisa membebaskan diri dari operasi klas dominan.Perjuangan ini harus dimulai dengan pemberian penyadaran terhadap siswa, dan seluruh praktisi pendidikan.[9]Guru di kelas harus mengajarkan pembebasan, menumbuhkan kesadaran kelas dan membangkitkan perlawanan terhadap kaum borjuis.
Dalam prespektif pemikiran seperti itu memiliki implikasi terhadap tiga hal yang berkaitan dengan pendidikan:[10]
a.       Implikasi terhadap cara mendifinisikan pendidikan. Dalam hal ini pendidikan dianggap sebagai kepanjangan dari kelompok dominan.
b.      Penetapan prioritas pendidikan, dalam hal ini kebijakan dan proses pendidikan harus dapat memutus hubungan dengan budaya kelompok dominan.
c.       Implikasi terhadap strategi perencanaan pendidikan harus menanamkan ideology dominan.
1.      Perspektif Konstruksionis
Perspektif ini menggagas perbedaan filsafat yang berkembang di Jerman.Saat itu diperdebatkan pengetahuan naturalistic dan kultural.Perspektif ini beranggapan bahwa perilaku manusia secara fundamental berbeda dengan perilaku alam.Manusia selalu bertindak sebagai agen yang mengkonstruk realitas kehidupan social. Cara melakukan tergantung cara mereka memahami atau memebrikan makna terhadap dunianya. Oleh karena itu, maka tugas sosiologi adalah memahami cara agen melakukan penafsiran, memberi makna secara realitas. Makna itu adalah makna partisipan yakni agen yang melakukan konstruk melalui satu proses partisipasi dalam kehidupan dimana ia hidup.[11]
Di Amerika, George Herberd Mead membangun tradisi yang kemudian dikenal dengan teori interaksionisme simbolik, sebuah pendekatan yang memanfaatkan jasa psikolog social, dengan mengandaikan bahwa hubungan antara actor dibangun dalam pola-pola bahasa komunikasi. Komunikasi merupakan medium yang dipakai masyarakat untuk memahami actor.Dengan medium itu mereka berbagi pemahaman mengenai realitas yang muncul dalam masyarakat.Actor memahami realitas melalui symbol-simbol yang mereka gunakan dalam interaksi.Bahasa adalah symbol yang paling banyak diapakai dalaminteraksi individu dengan individu lainnya.[12]
Di Eropa, tradisi konstruksionisme ini memunculkan sosiologi fenomenologis. Tradisi ini sangat dipengaruhi oleh karya-karya Weber melalui Alfred Schutz.Schutz membaca karya Weber dari sudut pandang filsafat Eropa, yang dikenal dengan filsafat Fenomologi dari Bergson dan Husserl.Dari Schutz inilah muncul sosiologi fenomologi.Sosiologi fenomologi memfokuskan kajiannya kepada cara-cara yang dilakukan actor dalam memahamidan menafsirkan dunia social dengan memperhatikan penerapan data ke dalam tipifikasi atau penggambaran secara mental.Schutz membahas cara-cara individu melakuakn tipifikasi dengan menghubungkan pemahaman secara intersubjektif, disamping juga menghubungkan antara penggambaran yang dibuat sosiolog dengan penggambaran yang dibuat actor.[13]
Sementara itu tradisi kontruksionis yang berakar dari fenomenologi Amerika yang radikal yang tumbuh berkembang pada tahun 1970-an, muncul dalam bentuk tradisi yang disebut dengan perspektif etnometodologi.Tradisi ini beranggapan bahwa tidak mungkin melakukan penggambaran dunia social secara ilmiah. Oleh karena itu cara melakukan penggambaran yang paling mungkin dilakukan oleh sosiolog satu-satunya adalah melakukan penggambaran sesuai dengan  apa yang dilakukan oleh sang actor.[14]
Sedangkan teori Strukturasi yang dilahirkan sosiolog dari Inggris, Anthony Giddens, mencoba memperlihatkan bahwa dalam kehidupan social terdapat hubungan antara tindakan pemahaman atau penafsiran dengan munculnya system social yang stabil yang berkembang di luar individu dalam dalamskala yang luas. Menurutnya situasi ini merupakan sesuatu yang berada di luar konsekuensi dari cara actor menggambarkan tindakan yang mereka lakukan. Setiap tindakan individu tersebut adalah dalam rangka mewujudkan tujuan dan keinginan personal.[15]
Soisologi pendidikan yang mendasakan pada perspektif konstruktivisme dalam hal ini memfokuskan kepada pemahaman siswa. Dalam pendidikan konstruktivistik, pembelajaran dipandang sebagai proses yang dikendalikan sendiri oleh siswa. Pembelajaran mengembangkan pengetahuan yang dimiliki oleh siswa dilakukan di tempat mana siswa sebagai pertisipan. Perspektif ini menekankan kepada proses pembelajaran kolaboratif, sehingga proses pembelajarannya dilakukan bersama. Siswa diberi fasilitas untuk berinteaksi dengan lingkungannya disertai dnegan proses refleksi diri.[16]
Paradigm kontruktivistik menjadikan siswa aktif dan menentukan apa yang harus dipikirkan dan dipelajari. Fokusnya dalamhal ini diarahkan kepada cara bagaiamana siswa mengkonstruk makna tentang kehidupan dan dunianya. Mereka adalah individu-individu yang aktif membentuk makna yang dijadikan dasar menciptakan struktur pemahaman tentang dunianya, sehingga lahir konsep, prinsip-prinsip, dan model atau skema mental siswa.Ilmu pengetahuan yang telah diperoleh sebelumnya sebagai Sesuatu yang penting.Ia menentukan kememapuan mereka dalam mempelajari bahan-bahan pembelajaran baru.[17]
Paradigm konstruktivistik menekankan pada pemahaman (understanding) dan juga menghapus misunderstanding, serta memecahkan persoalan dalam konteks pemaknaan yang dimiliki siswa. Proses startegis yang dilakukan dimulai dari cara pemikiran deduktif dan digabungkan dengan pemikiran induktif. Dengan demikian siswa mengetahui prinsip-prinsip yang mendasari suatu fakta atau data lapangan yang dijumpai, yang fakta atau data itu diolah melalui proses induktif. Namun demikian, guru dalam hal ini didorong untuk menghargai nilai-nilai pengetahuan dan pengalaman siswa yang telah dimiliki dan dibawa dalam proses pembelajaran. Guru juga didorong  untuk memberikan pengelaman dan bukan sekedar pengetahuan, sehingga siswa akan memproleh bekal yang berharga untuk menghadapi kehidupannya. Pendidikan dengan demikian merupakan proses transfer of knowledge sekaligus experiences.[18]

B.     Intrepetasi Sistem Pendidikan Islam
Istilah sistem berasal dari bahasa Yunani (systema) yang berarti sehimpunan bagian atau komponen yang saling berhubungan secara teratur dan merupakan satu keseluruhan. Sistem didefenisikan sebagai satu keseluruhan dari sejumlah komponen yang saling berhubungan dan berfungsi dalam mengubah masukan (input) menjadi hasil (output) sesuai tujuan yang telah ditetapkan.[19]Tujuan suatu sistem adalah untuk mencapai suatu tujuan (goal) atau mencapai suatu sasaran (objectives).Goal meliputi ruang lingkup yang luas sedangkan objectives meliputi ruang lingkup yang sempit.
Dengan demikian, sistem merupakan suatu totalitas dari bagian-bagian yang saling berhubungan, dimana fungsi dari totalitas tersebut berbeda dengan jumlah fungsi dari bagian-bagiannya. Contohnya mobil, sepeda motor, komputer, jam tangan, tubuh manusia, organisasi kemahasiswaan, pendidikan, perusahaan, ilmu, filsafat, masing-masing wujud tersebut dapat dipandang sebagai sistem.
Menurut Gordon B. Davis, William A. Shrode, dan Dan Voich, jenis-jenis sistem terdiri dari:
1.      Berdasarkan wujudnya, sistem dibedakan menjadi empat jenis yaitu sistem fisik (mobil), sistem konseptual (ilmu), sistem biologi (tubuh manusia), dan sistem sosial (sekolah).
2.      Berdasarkan asal usul kejadiannya, sistem dibedakan menjadi dua jenis yaitu sistem alamiah (tata surya) dan sistem buatan manusia (pendidikan).
3.      Berdasarkan daya gerak yang ada di dalamnya, sistem dibedakan menjadi dua jenis yaitu sistem mekanistik/deterministic (sepeda motor) dan sistem organismik/probabilistic (organisasi).
4.      Berdasarkan hubungan dengan lingkungannya, sistem dibedakan menjadi dua jenis yaitu sistem terbuka (sistem yang berinteraksi dan memiliki ketergantungan kepada lingkungan atau sistem lain yang ada di dalam suprasistemnya, mengambil input dari lingkungannya dan memberikan output kepada lingkungannya dan sistem tertutup (sistem yang tidak berhubungan dengan lingkungan).[20]
Ciri-ciri umum suatu sistem adalah:[21]
1.      Merupakan suatu kesatuan atau holistic.
2.      Memiliki bagian-bagian yang tersusun sistematis dan berhierarki.
3.      Bagian-bagian itu berelasi satu dengan yang lain
4.      Konsen/peduli terhadap konteks lingkungannya.
Contohnya bolpoin sebagai suatu sistem merupakan suatu kesatuan.Bagiannya terdiri dari tutup dan badan.Badan terdiri dari bagian luar dan isi.Isi terdiri dari buluh, tinta, dan bola/ujung. Bagian-bagian itu adalah bertingkat atau berhierarki dan berelasi satu dengan yang lain. Sedangkan konsep terhadap lingkungan tampak pada badannya yang enak dipegang ketika menulis, bola/ujungnya lancip sehingga tulisan menjadi baik, dan tutupnya diisi cantelan sehingga bisa digantungkan di kantong.
Suatu sistem biasanya disajikan dalam bentuk model. Menurut Elias M. Awad, model adalah suatu representasi sistem yang nyata atau yang direncanakan. Murdick dan Ross menjelaskan bahwa model merupakan abstraksi realitas, namun karena model tidak mampu menyajikan realitas secara rinci atau detail maka model hanya menyajikan bagian-bagian atau ciri-ciri tertentu yang penting saja dari realitas.Karhi Nisjar S dan Winardimenjelaskan bahwa salah satu cara menggambarkan sistem adalah dengan menekankan unsur input, proses, dan outputnya.[22]
Pendidikan merupakan sistem terbuka, sebab tidak mungkin pendidikan dapat melaksanakan fungsinya dengan baik bila ia mengisolasi diri dengan lingkungannya. Faktor-faktor yang mempengaruhi pendidikan adalah filsafat negara, agama, sosial, kebudayaan, ekonomi, politik, dan demografi.Ketujuh faktor ini merupakan suprasistem dari sistem pendidikan.[23]
Jadi pendidikan sebagai sistem berada bersama, terikat, dan tertenun di dalam suprasistemnya yang terdiri dari tujuh sistem tersebut di atas.Berarti membangun suatu lembaga pendidikan baru atau memperbaiki lembaga pendidikan lama, tidak dapat memisahkan diri dari suprasistem tersebut.
Pendidikan dapat didefenisikan sebagai keseluruhan yang terpadu dari sejumlah komponen yang saling berinteraksi dan melaksanakan fungsi-fungsi tertentu dalam rangka membantu anak didik agar menjadi manusia terdidik sesuai tujuan yang telah ditetapkan.Ditinjau dari asal usul kejadiannya, pendidikan tergolong kepada sistem buatan manusia (a man made system); ditinjau dari wujudnya, pendidikan tergolong kepada sistem sosial, sedangkan jika ditinjau dari hubungan dengan lingkungannya pendidikan merupakan sistem terbuka.[24]
Setelah membahas pendidikan sebagai sistem di tengah-tengah suprasistemnya, pembahasan dilanjutkan dengan lembaga pendidikan sebagai sistem.Sistem sekolah atau perguruan tinggi dalam garis besarnya terdiri dari subsistem-subsistem tujuan, manajemen, prosesing peserta didik, dan lingkungan. Selanjutnya system lembaga atau organisasi pendidikan bila ditinjau dari instrument untuk memproses peserta didik memiliki subsistem dan sub-subsistem sebagai berikut:
1.      Subsistem perangkat lunak yang mencakup : 
a.       Sub-subsistem manajemen
b.      Sub-subsistem struktur
c.       Sub-subsistem teknik
d.      Sub-subsistem bahan pelajaran
e.       Sub-subsistem informasi
2.      Subsistem perangkat keras yang mencakup : 
a.       Sub-subsistem prasarana seperti jalan, lapangan olahraga, dan halaman sekolah
b.      Sub-subsistem sarana/fasilitas seperti gedung, laboratorium, perpustakaan, media pendidikan, alat-alat belajar, dan alat-alat peraga
c.       Sub-subsistem biaya
d.      Sub-subsistem orang mencakup pengelola, pengawas, pendidik, pembimbing, dan tenaga-tenaga penunjang pendidikan lainnya.
Sistem manajemen mencakup subsistem-subsistem struktur, teknik, personalia, informasi, dan lingkungan. Pendidikan sebagai sistem adalah sistem pengembangan input menjadi output atau pengembangan peserta didik baru masuk sampai lulus adalah:
1.      Subsistem input : peserta didik yang baru masuk
2.      Subsistem proses : proses belajar mengajar
3.      Subsistem output : lulusan lembaga pendidikan itu
Bila proses belajar mengajar dipandang sebagai sistem, maka subsistem-subsistemnya adalah bahan pelajaran, metode belajar mengajar, alat belajar/alat peraga/media belajar, lingkungan/iklim belajar, manajemen/administrasi kelas, para siswa/mahasiswa, pendidik, pengawas, dan evaluasi/umpan balik.[25]
Philip H.Coombs mengidentifikasi adanya 12 komponen pokok sistem pendidikan yaitu:
1.      Tujuan dan prioritas, fungsinya untuk mengarahkan kegiatan system
2.      Anak didik, fungsinya belajar hingga mencapai tujuan pendidikan
3.      Pengelolaan, fungsinya merencanakan, mengkoordinasikan, mengarahkan, dan menilai system
4.      Struktur dan jadwal, fungsinya mengatur waktu dan mengelompokkan anak didik berdasarkan tujuan tertentu
5.      Isi/kurikulum, fungsinya sebagai bahan yang harus dipelajari anak didik
6.      Pendidik/guru, fungsinya menyediakan bahan, menciptakan kondisi belajar, dan menyelenggarakan pendidikan
7.      Alat bantu belajar, fungsinya memungkinkan proses belajar mengajar menarik, lengkap, dan bervariasi
8.      Fasilitas, fungsinya sebagai tempat terselenggaranya pendidikan
9.      Teknologi, fungsinya mempermudah atau memperlancar pendidikan
10.  Pengawasan mutu, fungsinya membina peraturan dan standar pendidikan
11.  Penelitian, berfungsi mengembangkan pengetahuan, penampilan sistem, dan hasil kerja system
12.  Biaya, berfungsi sebagai petunjuk efisiensi sistem
Dalam sistem pendidikan terjadi proses transformasi yaitu proses mengubah raw input (anak didik) agar menjadi manusia terdidik sesuai tujuan yang telah ditetapkan. Dalam hal ini, semua komponen pendidikan melaksanakan fungsinya masing-masing dan berinteraksi satu sama lain yang mengarah kepada pencapaian tujuan pendidikan. Adapun output atau hasilnya adalah manusia terdidik yang diperuntukkan bagi masyarakat atau sistem lain yang berada di dalam suprasistem. Dalam sistem pendidikan terdapat komponen pengawasan mutu atau kontrol kualitas.Pelaksanaan fungsi komponen ini akan menghasilkan umpan balik yang digunakan untuk melaksanakan koreksi untuk proses transformasi berikutnya. Dengan adanya kontrol kualitas yang menghasilkan feedback untuk melakukan perbaikan dalam proses transformasi berikutnya, ini diharapkan agar sistem pendidikan mampu mempertahankan eksistensi dan meningkatkan prestasinya.[26]
Jadi makna memandang pendidikan sebagai sistem adalah dalam menangani pendidikan, baik mempertahankan yang sudah ada, memperbaiki, maupun mengadakan sesuatu yang baru hendaklah memperhatikan bagian-bagiannya atau semua subsistemnya secara berimbang atau proporsional. Hanya dengan cara ini perbaikan dan kemajuan pendidikan diharapkan tercapai.





[1] George Ritzer, Sosiologi Ilmu Pengetahuan Berparadigma Ganda, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2011), 21-22.
[2] Zaiuddin Maliki, Sosiologi Pendidikan, (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2010), 44.
[3]Zaiuddin Maliki.
[4]Zaiuddin Maliki, 45.
[5]Zaiuddin Maliki.
[6] Nanang Martono, Kekerasan Simbolik DI Sekolah, (Jakarta : PT Raja Drafindo Persada, 2012), 23
[7] George Ritzer, 29.
[8] Zaiuddin Maliki, 172.
[9] Zaiuddin Maliki, 173.
[10] Zaiuddin Maliki, 174.
[11]Zaiuddin Maliki,202.
[12]Zaiuddin Maliki.
[13]Zaiuddin Maliki,203.
[14]Zaiuddin Maliki.
[15]Zaiuddin Maliki,203-204.
[16]Zaiuddin Maliki, 204.
[17]Zaiuddin Maliki,205-206.
[18]Zaiuddin Maliki, 206.
[19]Dinn Wahyudin, Pengantar Pendidikan, (Jakarta :Universitas Terbuka, 2008), 84.
[20]Dinn Wahyudin, 84-85.
[21]Made Pidarta, Landasan Kependidikan, (Jakarta : Rineka Cipta, 2007), 28.
[22]Dinn Wahyudin,86.
[23]Made Pidarta, 30-31.
[24]Dinn Wahyudin, 87.
[25]Made Pidarta, 32-34.
[26]Dinn Wahyudin, 89-90.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar