Senin, 15 Juni 2015

Filsafat Pendidikan Islam

Konsep Pendidikan Ibnu Khaldun
Oleh : Khoirul Anam Muawwan

BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Dunia pendidikan islam di Indonesia khususnya dan di dunia islam umumnya masih dihadapkan pada berbagai persoalan, mulai dari rumusan tujuan pendidikan yang kurang sejalan dengan tntutan masyarakat sampai kepada persoalan guru, metode, kurikulum, dan lain sebagainya. Upaya untuk mengatasi masalah tersebut masih terus dilakukan dengan berbagi upaya. Pelatihan yang cukup bagi tenaga kependidikan dan lain sebagaianya adalah salah satu dariupaya yang sudah dilakukan, namun maslaha pendidikan terus bermunculan.
Upaya untuk memperbaiki kondisi kependidikan yang sedemikian ini tampaknya harus ditelusuri akar permasalahannya yang bertumpu pada pemikiran filosofis.Sudah diketahui bahwa filsafat adalah induk dari segala ilmu.
Pendidikan islam, menurut berbagai pemikir filsafat, masih belum menemukan format dan bentuknya yang khas sesuai dengan ajaran islam. Hal ini karena konsep pendidikan yang ditawarkan belum dirancang permasalahannya dengan seksama. Dan juga belum banyak diperkenalkan pemikiran kependidikan yang dikemukakan para filosof muslim seperti Al-Ghozali, Ibnu Khaldun, Ibnu Maskawaih, dan lain sebagainya.
Salah satu pemikiran konsep pendidikan filosof muslim yaitu telah dikemukakan Ibnu Khaldun. Menurutnya, pendidikan dan ilmu pertama yang harus dipelajari dan diajarkan sejak dini adalah ilmu agama yaitu ilmu Al-Quran. Di samping Al-Quran menjadi sumber utama kebenaran, disana terdapat berbagai petunjuk yang mengatur pola kehidupan yang seharusnya dilaksanakan umat islam dan umat manusia.
Tujuan pendidikan menurut Ibnu Khaldun adalah untuk membuat kaum muslimin percaya dan meyakini Tuhan melalui mempelajari Al-Quran dan ilmu pengetahuan keagamaan. Ilmu pengetahuan yang berkenaan dengan keyakinan dan hukum islam akan membuat kaum muslimin mengetahui realitas yang diarahkan pada upaya mendapatkan akhlak dan tingkah laku yang baik. Dengan demikian ilmu pengetahuan islam dan tujuan hidupnya akan sejalan dengan ajaran islam dan akan menolongnya untuk menjadi muslim yang baik dan anggota masyarakat yang baik pula.[1]

B.     Rumusan Masalah
1.      Bagaimana riwayat Ibnu Khaldun selama hidupnya?
2.      Bagaimana konsep pendidikan yang telah dikemukaan Ibnu Khaldun?

C.    Tujuan
1.      Mahasiswa mampu menjelaskan riwayat Ibnu Khaldun selama hidupnya.
2.      Mahasiswa mampu menjelaskan konsep pendidikan yang telah dikemukakan Ibnu Khaldun.



BAB II
PEMBAHASAN

A.    Riwayat Hidup Ibnu Khaldun
Abdur Rahman Ibnu Khaldun dilahirkan di Tunis pada tanggal 27 Mei tahun 1332.Ia adalah keturunan Banu Khaldun dari Spanyol yang kemudian pindah ke Tunis. Ibnu Khaldun memulai pendidikannya dengan belajar Al Quran.Ia termasuk orang yang beruntung dalam memperoleh pendidikan dasar yang dilakukan guru terkenal di Tunis. Ia menunjukkan perhatiannya pada masalah hukum, adat istiadat, bahasa, tata bahasa, dan syair. Ia kemudian mempelajari logika, filsafat, teologi, dan ilmu pengetahuan islam lainnya. Setelah mencapai usia 21 tahun ia bekerja sebagai pegawai pada kerajaan Tunis, namun ia meningglakan pekerjaan tersebut. Pada tahun 1354 ia diundang ke Fez untuk menjadi tenaga sekretaris pada Abu Enam, tetapi setelah beberapa tahun ia meningglakan pekerjaan tersebut.[2]
Selanjutnya pada tahun 1362, Ibnu Khaldun menyeberang ke Spanyol dan bekerja pada raja Granada. Di Granada ia menjadi utusan raja untuk berunding dengan Pedro, raja Granada, Raja Castila, sedangkan di Sevilla, karena kecakapannya yang luar biasa, ia ditawari bekerja oleh penguasa Kristen itu. Sebagai imbalannya, tanah-tanah bekas keluarganya dikembalikan kepada Ibnu Khaldun, tetapi Ibnu Khaldun memilih tawaran yang sama dari raja Granada. Kesanalah ia memboyong keluarganya dari Afrika.[3]
Ketenangan hidup baruia jumpai setelah melepaskan semua jabatan resminya. Dan pada waktu itulah menciptakan karyanya yang monumental, yaitu Muqoddimad dan sejarah Alam Semesta. Setelah itu ia kembali ke Tunisia. Tetapi oleh karena iamenghadapi masalah yang sama seperti yang dialami di Granada, maka ia memutuskan diri untuk naik haji. Dan pada tahun 1382 M, ia pergi ke Iskandariah. Tetapi dalam perjalanan hajinya ia singgah di Mesir. Di daerah ini ia ditawari jabatan guru kemudian ketua Mahkamah Agung di bawah pemerintahan Dinasti Mamluk.[4]Ia memegang jabatan tersebut sampai wafat pada tahun 1406.
Karya tulis Ibnu Khaldun banyak macamnya antara lain ilmu mantiq dan ringkasan filsafat Ibnu Rusyd, juga mengarang tentang fikih, matematika, kesusastraan Arab, sejarah ilmu hitung.[5]Ibnu Khaldun dikenal melalui karyanya Muqaddima yang ia tulis sebagai pengantar terhardap bukunya yang disebutkan di atas. Muqaddima berisi cara penyususan filsafat dan sejarah. Selain itu kitab itu juga berisi pandangan-pandangan mengenai berbagai aspek yang berkaitan dengan negara dan masyarakat termasuk penjelasan secara mendetail tentang pendidikan.[6] Hal ini terlihat antara lain terlihat dari pengalamannya sebagai guru yang berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat lainnya.[7]

B.     Pandangan Ibnu Khaldun Tentang Pendidikan
  1. .      Tinjauan Pendidikan Secara Umum

Ibnu Khaldun berpendapat bahwa tidak cukup bagi seorang guru hanya membekali anak dengan ilmu pengetahuan saja agar mereka menjadi orang yang berilmu pengetahuan yang menambah pengetahuannya dalam belajar. Akan tetapi juga guru wajib memperbaiki metode dalam penyajian ilmu kepada anak didiknya, dan hal ini tidak akan menjadi sempurna kecuali dengan lebih dahulu mempelajari hidup kejiwaan anak dan mengetahui tingkat-tingkat kematangannya serta bakat-bakat ilmiahnya, sehingga ia mampu menerapkan sesuai dengan tingkat pikiran mereka. Dengan cara demikian terjalinlah hubungan antara guru dengan anak muridnya.[8]
Ibnu Khaldun menetapkan bahwa metode mengajar sebaiknya harus diterapkan dalam proses mengajarkan materi ilmu pengetahuan atau mengikutinya, karena dipandang pengajaran tidak akan sempurna kecuali harus dengan metode itu. Maka seolah-olah metode dan materi merupakan satu kesatuan, padahal ia bukanlah bagian dari materi pelajaran, yang bukti-biktinya ditunjukkan dengan adanya kenyataan bahwa di kalangan tokoh pendidikan terdapat metode-metode yang berbeda.[9]
Dapat dikatakan bahwa Ibnu Khaldun sebagai pendidik yang berkemampuan mengajar berpendapat bahwa kedayaguanaan metode yang dapat digunakan untuk menyampaikan pengetahuan kepada murid bergantung kepada sejauh mana kematangan persiapan guru dalam mempelajari kejiwaan anak didiknya.Sehingga diketahui sejauh mana kematanagan kesiapan mereka dan bakat-bakat ilmiahnya.[10]
Pada bagian lain, Ibnu Khaldun berpendapt bahwa dalam proses belajar atau menurut ilmu pengetahuan manusia disamping harus sungguh-sungguh juga harus memiliki bakat. Menurutnya dalam mencapai ilmu pengetahuan yang bermacam-macam itu seseorang tidak hanya membutuhkan ketekunan, tetapi juga bakat.Berhasilnya suatu keahlian dalam suatu bidang ilmu atau disiplin memerlukan pengajaran.[11]
Pendidikan menurut Ibnu Khaldun bukan hanya terdiri dari ilmu yang digunakan dalam kehidupan namun juga terdiri dari metode yang berfungsi sebagai tehnik dalam penyampaian ilmu tersebut.Orang yang berilmu belum tentu bisa mengajarkan ilmunya dengan maksimal dan seharusnya didukung dengan metode-metode dalam menyampiakannya.Karena ilmu dan metode pengajaran merupakan satu kesatuan yang tidak boleh terpisahkan demi terbentuknya pendidikan yang unggul.
Ibnu Khaldun percaya bahwa upaya mencapai dan memiliki ilmu pengetahuan adalah kebutuhan pokok kehidupan manusia, karena mansuia mempunyai kemampuan berfikir dan bernalar. Selanjutnya ia percaya bahwa relaitas harus diketahui melalui wahyu dan bukan melaluiusaha penalaran intelektual sebagaimana yang demikian itu diyakini oleh para filosof .dengan demikian kondisi yang pertama untuk mengetahui relaitas bagi kaum muslimin adalah Al-Quran dan Nabi Muhammad SAW. Inilah filsafat ilmu pendidikan Ibnu Khaldun yang terpenting.Ia mengemukakan masalah tersebut dalam dimensi sosiologi dan menghubungkan pendidikan dengan situasi masyarakat islam.[12]
Al-Quran adalah satu-satunya kebenaran yang hak yang menjadi acuan dalam berkehidupan.Serta hadis Nabi Muhammad yang menjadi pemandu kebenaran Al-Quran dalam penyampiannya kepada manusia dan digunakan sebagai penjelas Al-Quran.Kedua sumber ilmu pengetahuan tersebut secara tekstual isinya menggunakan bahasa dan kondisi kehidupan pada zaman dimana diturunkannya ilmu tersebut.Sedangkan secara kontekstual, dapat digunakan pada zaman serba modern sekarang ini.Hal tersebut juga berlaku pada konsep pendidikan yang terus perlu dikembangkan agar dapat menjadikan manusia bukan sekedar intelektualnya saja yang menjadi pertimbangan namun akhlak juga termasuk prioritas utama.
  1. Pandangan Tentang Ilmu

Dalam kitab al-muqaddimah ibnu khaldun menjelaskan tentang klasifikasi ilmu secara umum  
إِعْلَمُ اَنَّ العُلُوْمَ الَّتِي يَخُوْضُ فِيْهَا البَشَرُ وَ يَتَدَاوَلُوْنَهَا فِي الْاَمْصَارِ تَحْصِيْلاً وَتَعْلِيْمًا هِيَ عَلَى صِنْفَيْنِ, صِنْفٍ طَبِيْعِيٍّ لِلْإنْسَانِ يَهْتَدِي إِلَيْهِ بِفِكْرِهِ. وَ صِنْفٍ نَقْلِيٍّ يَأْخُذُهُ عَمَّنْ وَضَعَهُ.  
Maksud dari penjelasan di atas adalah bahwa ilmu yang mendasari setiap manusia ada dua macam yakni ilmu aqli dan ilmu naqli.  
Berkenaan dengan ilmu pengetahuan, Ibnu Khaldun membaginya menjadi tiga macam, yaitu:[13]
a.       Ilmu lisan (bahasa) yaitu tentang tata bahasa (gramatika), sastra atau bahasa yang tersusun secara puitis (sya’ir).
b.      Ilmu naqli, yaitu lmu yang diambil dari kitab suci dan sunnah nabi. Ilmu ini berupa membaca kitab suci Al-Quran dan tafsirnya, sanad dan hadis pentashihannya serta istinbat tentang kaidah-kaidah fiqih. Dengan ilmu ini manusia akan dapat mengetahui hukum-hukum Allah yang diwajibkan kepada manusia. Dari Al-Quran inilah didapati ilmu-ilmu tafsir, ilmu ushul fiqih yang dipakai untuk menganalisa hukum-hukum Allah itu melalui cara istinbat.
c.       Ilmu ‘aqli, yaitu ilmu yang dapat menunjukkan manusia dengan daya fikir dan kecenderungannya kepada filsafat dan semua ilmu pengetahuan. Termasuk di dalam kategori ini adalah ilmu mantiq (logika), ilmu alam, ilmu ketuhanan, ilmu teknik, ilmu hitung, ilmu tingkah laku manusia, termasuk juga I,mu sihir, dan ilmu nujum (perbintangan). Mengenai ilmu nujum, Ibnu Khaldun menganggapnya sebagai ilmu yang fasid karena ilmu dapat dipergunakan untuk meramalkan segala kejadian sebelum terjadi atas perbintangan. Hal ini merupakan sesuatu yang bathil, berlawanan dengan ilmu tauhid yang menegaskan bahwa tidak ada yang menciptakan kecuali Allah sendiri.
Diantara ilmu tersebut ada yang harus diajarkan kepada anak didik, yaitu:[14]
a.       Ilmu syariah dengan segala jenisnya.
b.      Ilmu filsafat seperti ilmu alam dan ilmu ketuhanan.
c.       Ilmu alat yang membantu ilm agama seperti ilmu bahasa, gramatika, dan sebagainya.
d.      Ilmu alat yang membantu ilmu falsafah seperti ilmu mantiq.
Selain itu Ibnu Khaldun berpendapat bahwa Al-Quran adalah ilmu yang pertama kali harus diajarkan kepada anak, karena mengajarkan Al-Quran kepada anak-anak termasuk syariat islam yang dipegang teguh oleh para ahli agama dan dijunjung tinggi oleh setiap negara islam. Al-Quran yang telah ditanamkan pada anak didik akan menjadi pegangan hidupnya karena pengajaran pada masa kanak-kanak masih mudah, karena otak si anak masih jernih.[15]
  1. 3.      Tujuan Pendidikan

Menurut Ibnu Khaldun, tujuan pendidikan beraneka ragam dan bersifat universal. Diantara tujuan pendidikan tersebut adalah:
a.       Tujuan peningkatan pemikiran[16]
Ibnu khaldun memandang bahwa: salah satu tujuan pendidkan adalah memberikan kesempatan kepada akal untuk lebih giat dan melakukan aktivitas. Hal ini dapat dilakukan melalui proses menuntut ilmu dan keterampilan. Dengan menuntut ilmu dan ketrampilan, seseorang akan dapat meningkatkan kegiatan potensi akalnya. Disamping itu, melalui potensinya, akal akan mendorong manusia untuk memperoleh dan melestarikan pengetahuan. Melalui proses belajar, manusia senantiasa mencoba meneliti pengetahuan-pengetahuan atau informasi-informasi yang diperoleh oleh pendahulunya. Manusia mengumpulkan fakta-fakta dan menginventarisasikan keterampilan-keterampilan yang dikuasainya untuk memperoleh lebih banyak warisan pengetahuan yang semakin meningkat sepanjang masa sebagai hasil dari aktifitas akal manusia.
Atas pemikiran tersebut, maka tujuan pendidikan menurut Ibnu Khaldun adalah peningkatan kecerdasan manusia dan kemampuannya berfikir. Dengan kemampuan tersebut, manusia akan dapat meningkatkan pengetahuannya dengan cara memperoleh lebih banyak warisan pengetahuan pada saat belajar.
b.      Tujuan peningkatan kemasyarakatan
Dari segi peningkatan kemasyarakatan, Ibnu Khaldun berpendapat bahwa ilmu dan pengajaran adalah lumrah bagi peradaban manusia.Ilmu dan pengajaran sangat diperlukan untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat manusia kearah yang lebih baik. Semakin dinamis budaya suatu masyarakat, maka akan semakin bermutu dan dinamis pula keterampilan di masyarakat tersebut. Untuk itu, manusia seyogyanya senantiasa  berusaha memperoleh ilmu dan keterampilan sebanyak mungkin sebagai salah satu cara membantunya untuk dapat hidup dengan baik dalam masyarakat yang dinamis dan berbudaya. Jadi, eksistensi pendidikan menurutnya merupakan satu sarana yang dapat membantu individu dan masyarakat menuju kemajuan dan kecemerlangan.Disamping bertujuan meningkatkan segi kemasyarakatan manusia, pendidikan juga bertujuan mendorong terciptanya tatanan kehidupan masyarakat kearah yang lebih baik.
c.       Tujuan pendidikan dari segi kerohanian adalah dengan meningkatkan kerohanian manusia denagn menjalankan praktek ibadah, dzikir, halwat (menyendiri) dan mengasingkan diri dari khalayak ramai sedapat mungkin untuk tujuan ibadah sebagaimana yang dilakukan oleh para sufi.[17]
  1. 4.      Metode Pengajaran

a.       Metode pentahapan dan pengulangan (Tadarruj Wat Tikraari)
Pengajaran yang efektif menurut ibnu khaldun harus dicapai setahap demi setahap.[18] Menurut beliau mengajar anak-anak/remaja hendaknya didasarkan atas prinsip-prinsip pandangan bahwa tahap permulaan pengetahuan adalah bersifat total (keseluruhan), kemudian secara bertahap, baru terperinci, sehingga anak dapat menerima dan memahami permasalahan pada tiap bagian dari ilmu yang diajarkan dengan tingkat penjelasan yang mudah dimengerti oleh peserta didik agar tidak terjadi kesulitan dalam memahami ilmu yang disampaikan, agar peserta didik dapat mencerna ilmu tersebut degan baik dan keseluruhan.
Kemudian guru mengulang lagi ilmu yang diajarkan itu agar anak-anak meningkat daya pemahamannyasampai ketahap yang tertinggi melalui uraian dan pembuktian yang jelas sehingga tidak ada lagi keraguan dalam memahami ilmu tersebut.
b.      Menggunakan Sarana Tertentu Untuk Menjabarkan Pelajaran
Menurut ibnu khaldun penggunaan alat-alat peraga sangatlah penting untuk menunjang tingkat pemahaman seorang siswa atau peserta didik, karena seorang anak pada waktu mulai belajar permulaanya lemah dalam memahami dan kurang daya pengamatnya.Dan hal inilah yang ditekankan oleh beliau, karena memang anak didik bergantung pada panca indranya dalam proses penyusunan pengalamannya.  
Dalam kegiatan belajar mengajar alat-alat peraga tersebut merupakan sarana pembuka cakrawala yang lebih luas, disamping itu juga alat peraga ini menjadikan pengetahuan anak bersentuhan dengan pengalaman indrawi yang hakiki.[19]
Inti dari makna yang terkandung di dalam metode ini yaitu lebih  memudahkan anak untuk  memahami pelajaran dan mengurangi kesalahan daya penerimaan ilmu yang diajarkan serta memperkecil pemahaman yang buruk, dan sebagainya.
c.       Widya-Wisata Merupakan Alat Untuk Mendapatkan Pengalaman Yang Langsung
Ibnu Khaldun mendorong agar melakukan perlawatan  untuk menuntut ilmu karena dengan cara ini murid-murid akan mudah mendapat sumber-sumber pengetahuan yang banyak sesuai dengan tabiat eksploratif anak, dan pengetahuan mereka berdasarkan observasi lansung itu berpengaruh besar dalam memperjelas pemahamannya terhadap pengetahuan lewat pengalaman indrawinya.
Begitu pentingnya metode ini bagi anak didik untuk mendapatkan ilmu secara Realsehingga beliau mengatakan: “ Sesungguhnya melakukan perlawatan untuk menuntut ilmu dan menjumpai para ahli ilmu pengetahuan dan tokoh-tokoh ilmu dan tokoh pendidikan, menambah kesempurnaan ilmu mereka, sebab banyak orang menimba pengetahuan dan akhlak serta aliran paham yang dianut serta keutamaan-keutamaan mereka; kadangkala dengan cara menukil ilmu, mempelajari atau menerima kuliah, dan kadang kala dengan cara meniru dan belajar melalui pergaulan dengan mereka. Sedangkan keberhasilan mendapatkan pengetahuan dengan bergaul dan menerima pelajaran akan lebih mendalam dan lebih kuat kesannya dari pada cara lain, apalagi melalui banyak guru yang ilmunya bermacam-macam.”[20]
Yang dimaksud perlawatan (rihlah) menurut beliau adalah perjalanan menemui guru-guru yang mempunyai keahlian khusus, dan belajar kepada para tokoh ulama dan ilmuwan terkenal. Metode perlawatan yang diajarkan oleh ibnu Khaldun juga telah dijelaskan dalam Firman Allah surah: Ar-Rum ayat 42 :

Artinya: Katakanlah: Adakanlah perjalanan kamu di atas bumi, maka lihatlah, bagaimana akibatnya orang-orang yang (hidup) sebelumnya…...(Ar-Rum:42).
d.      Tidak Memberikan Presentasi Yang Rumit Kepada Anak Yang Baru Belajar Permulaan.
Ibnu Khaldun mengajarkan hendaknya jangan mengajarkan anak-anak dengan definisi-definisi, dan kaidah-kaidah ilmu pengetahuan, khususnya pada permulaan belajar akan tetapi seharusnya guru memulai dengan memberikan contoh-contoh yang mudah dan membahas nash-nash serta mengistinbathkan (mengambil kesimpulan) yang khusus. Pemahaman anak terhadap pengertian kaidah dan norma-norma serta definisi-definisi berarti menghadapkan anak kepada kaidah-kaidah ilmu yang bersifat menyeluruh dan menghadapkan anak kepada permasalahan (problema) ilmu secara sekaligus.[21]
Hal ini jelas belum dapat dimengerti oleh anak karena usianya yang belum matang, dan juga karena hal itu akan menyebabkan akal pikirannya dibebani dengan kesulitan dan rasa malas, bahkan memperkecil daya pikirnya yang akan berakhir pada apa yang dinamakan “kelumpuhan akademis”. Hal demikian akan mengakibatkan anak lari dari ilmu dan membencinya. Hal ini dikarenakan metode pengajaran yang tidak tepat dan kurang memperhatikan kondisi anak didik terlebih dahulu.
e.       Harus Ada Keterkaitan Dalam Disiplin Ilmu.
Ibnu Khaldun mendorong agar guru dalam mengajarkan ilmu kepada muridnya mengaitkan dengan ilmu lain, (jangan terpisah-pisah). Karena memisah-misahkan ilmu satu sama lain menyebabkan kelupaan; hal ini diperkuat dengan uraian diatas tentang perlunya mengajar dengan pengulangan sampai tiga kali tanpa terpisah-pisah atau terputus-putus, agar memudahkan orang tidak lupa.
Sejalan dengan pandangan beliau adalah tentang pembahasan mengenai bahasa Arab pada zaman sekarang, dianjurkan agar diajarkan kitab-kitab mutolaah yang menyajikan topic pembahasan satu macam dalam beberapa pertemuan yang berturut-turut dengan menggalakkan keinginan untuk menserasikan dan menganalisa isi kitab dengan mengaitkan antara satu sama lain kedalam jiwa anak.
Menurut ibnu Khaldun ilmu adalah penguasaan dan penguasaaan ilmu itu tidaklah tetap keadaannya kuat kemampuannya kecuali dengan mempraktikkan terus-menerus atau mengulang-ulanginya. Jika dalam waktu lama tidak dipraktekkan maka penalaran akan terlu]pakan dan guru juga melupakannya, serta kemampuan murid untuk menguasai mata pelajaran tersebut juga mengalami kepunahan. 
f.       Tidak Mencampuradukkan Antara Dua Ilmu Pengetahuan Dalam Satu Waktu.
Ibnu Khaldun menganjurkan agar guru tidak mengajarkan dua ilmu dalam satu waktu kepada muridnya karena sebelum memperoleh salah satu ilmu, akan mengakibatkan terpecahnya konsentrasi pikiran dan melepaskan ilmu yang lainnya untuk memahami problematika yang lain. Hal ini mengakibatkan kerugian dan kesulitan. Jika ia telah menyelesaikan satu ilmu, maka ilmu itu menjadi sarana yang dapat menciptakan keberhasilan memecahkan dan memahami problema-problemanya.
Pandangan beliau tersebut menunjukkan bahwa takhassus ilmu itu penting;karena tak mungkin orang menguasai seluruh rahasia ilmu dari sekian banyak ilmu dan memahami detail-detailnya tanpa menuntaskan studi ilmu itu. Begitu juga pendapat beliau, bahwa tak mungkin mengajar anak dengan problema-problema dari dua macam ilmu yang berbeda.
Menurut pemakalah pemikiran Ibnu Khaldun yang menyarankan agar seorang guru mengajar hanya satu ilmu saja kepada peserta didik hingga ia menguasainya setelah itu barulah seorang peserta didik mempelajari ilmu lainnya sehingga tidak mengganggu konsentrasi belajarnya. Hal ini berbeda dengan pendidikan modern pada saat ini, dimana seorang peserta didik dianjurkan untuk mempelajari lebih dari satu ilmu agar memiliki pengetahuan yang lebih luas dan bervariasi.
Namun Ibnu Khaldun secara tegas menekankan bahwa pola pendidikan anak harus didasarkan pada proses belajar satu macam ilmu saja, dan jika satu macam ilmu telah dipahami benar baru beralih ke ilmu lain.
g.      Tidak Mendidik Anak Dengan Jalan Kekerasan.
Dalam kitab Al-Muqaddimah hal.619 pada pasal “kekerasan terhadap anak sangat membahayakan”,[22] Ibnu Khaldun menganjurkan agar bersikap kasih sayang kepada anak dan tidak menggunakan kekerasan terhadap mereka, karena sikap kasar atau kekerasan dalam mengajar membahayakan jasmani anak didik, jika anak diperlakukan secara kasar dan keras, menjadi sempit hatinya, dan hilang kecerdasannya, bahkan ia akan terdorong untuk berdusta, malas, dan berbuat kotor, dan saat itu anak tidak dapat menyatakan apa yang tergetar dalam hati kecilnya, akhirnya rusaklah makna kemanusiaan dalam dirinya sejak masa kanak-kanak.
Beliau menganjurkan agar guru-guru, dan orang tua anak, tidak berlaku kejam dalam mengajar dan mendidik anaknya. Kata beliau: “Di antara mazhab yang paling baik dalam pendidikan/pengajaran ialah seperti yang dilukiskan oleh Harun Al-Rasyid dalam wasiatnya kepada pendidik putranya Al-Amin, yang bernama Abul Hasan Ali bin Hamzah al-Kissai. Wasiatnya berdasarkan atas 2 macam prinsip.Prinsip pertama; langkah-langkah mengajar yang dianjurkan oleh Harun Al-Rasyid untuk anaknya’Al-Amin, dan prinsip Kedua ialah metode praktis yang harus dipergunakan dalam prosedur mengajar dan mendidik anaknya.
Apa yang diwasiatkan oleh Al-Rasyid menjelaskan tentang prinsip hukuman sebagai alat mendidik yang penting. Akan tetapi jangan dilakukan oleh pendidik kecuali dalam keadaan terpaksa karena tidak ada jalan lain sesudah semua cara lemah lembut tak berhasil.[23]



BAB III
PENUTUP

Kesimpulan
Abdur Rahman Ibnu Khaldun adalah salah satu tokoh islam yang terkenal pada zaman pertengahan. Banyak pemikiran-pemikiran yang beliau sumbangkan dalam dunia pendidikan maupun sejarah dan ilmu-ilmu lainnya, sehingga beliau terkenal dengan tokoh yang cerdas dan berpendidikan.
Hal ini terbukti dengan banyaknya karya-karya beliau yang telah tersebar diantaranya karya-karya beliau yang masyhur yaitu Muqoddimahdan sejarah Alam Semesta.
Ibnu Khaldun memberikan pemikirannya tentang tujuan pendidikan yaitu untuk membuat kaum muslimin percaya dan meyakini Tuhan melalui mempelajari Al-Quran dan ilmu pengetahuan keagamaan. Ilmu pengetahuan yang berkenaan dengan keyakinan dan hukum islam akan membuat kaum muslimin mengetahui realitas yang diarahkan pada upaya mendapatkan akhlak dan tingkah laku yang baik. Dengan demikian ilmu pengetahuan islam dan tujuan hidupnya akan sejalan dengan ajaran islam dan akan menolongnya untuk menjadi muslim yang baik dan anggota masyarakat yang baik pula.
Ibnu Khaldun juga berpendapat bahwa tidak cukup bagi seorang guru hanya membekali anak dengan ilmu pengetahuan saja agar mereka menjadi orang yang berilmu pengetahuan yang menambah pengetahuannya dalam belajar.Namun, anak didik perlu juga dibekali dengan beberapa metode dalam panyampian ilmu tersebut.



DAFTAR PUSTAKA

Al-Abrasyi, Muhammad Athiyah.Beberapa Pemikiran Pendidikan Islam.Yogyakarta: Titihan Ilahi,1996.
Al-Jumbulati, Ali dan Abdul Futuh At-Tuwaanisi.Perbandingan Pendidikan Islam. Jakarta: PT RINEKA CIPTA, 1994.
Alavi, S. M. Zianuddin.Pemikiran Pendidikan Islam pada Abad Klasik dan Pertengahan.Bandung: Angkasa, 2003.
Nata, Abuddin.Filsafat Pendidikan Islam.Jakarta: Gaya Media Pratama, 2005.
Ramayulis dan Samsul Nizar.Filsafat Pendidikan Islam. Jakarta: KALAM MULIA, 2011.



[1] S. M. Zianuddin Alavi, Pemikiran Pendidikan Islam pada Abad Klasik dan Pertengaha, (Bandung: Angkasa, 2003), 72.
[2]Ibid., 69-70.
[3] Abuddin Nata, Filsafat Pendidikan Islam (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2005), 222.
[4]Ibid., 222-223..
[5]Ali Al-Jumbulati dan Abdul Futuh At-Tuwaanisi, Perbandingan Pendidikan Islam, (Jakarta: PT RINEKA CIPTA, 1994), 192.
[6] S. M. Zianuddin Alavi, Pemikiran Pendidikan Islam pada Abad Klasik dan Pertengaha, (Bandung: Angkasa, 2003), 70.
[7] Abuddin Nata, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2005), 223.
[8]Ali Al-Jumbulati dan Abdul Futuh At-Tuwaanisi, Perbandingan Pendidikan Islam, (Jakarta: PT RINEKA CIPTA, 1994), 195-196.
[9]Ibid., 196.
[10]Ibid., 196.
[11] Abuddin Nata, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2005), 224-225.
[12] S. M. Zianuddin Alavi, Pemikiran Pendidikan Islam pada Abad Klasik dan Pertengaha, (Bandung: Angkasa, 2003), 72.
[13] Abuddin Nata, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2005), 225-226.
[14]Ibid., 226.
[15]Ibid., 226.
[16]Ramayulis dan Samsul Nizar, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: KALAM MULIA, 2011),283.
[17]Ibid., 284.
[18] S.M. Zainuddin Alavi, Pemikiran Pendidikan Islam Pada Abad Klasik Dan Pertengahan, (Bandung: Angkasa,2003), 75.
[19] Ali Al Jumbulati, Perbandingan Pendidikan ISLAM, (Jakarta: Rineka Cipta, 1994), 201.
[20]Ibid., 202
[21]Ibid.,203.
[22] Muhammad Athiyah Al-Abrasyi, Beberapa Pemikiran Pendidikan Islam, (Yogyakarta: Titihan Ilahi,1996), 108.
[23] Ali Al Jumbulati, Perbandingan Pendidikan ISLAM, (Jakarta: Rineka Cipta, 1994), 210.

Politik Pendidikan Islam

Teori Etika, Peraturan Perundang-undangan, Peraturan Pemerintah, Peraturan Penteri, dan Lokal Wisdom
Oleh : Khoirul Anam Muawwan

BAB I
PENDAHULUAN
A.      Latar Belakang
Menurut Plato, manusia merupakan makhluk politik (Zoon Politicon). Sehingga manusia berpolitik dalam kehidupannya. Hal ini dilakukan semata-mata untuk mengatur tata kehidupan manusia. Jika tidak diatur dengan baik, maka kehidupan manusia tidak akan berjalan. Terlebih-lebih aspek pendidikan yang menjadi kebutuhan primer bagi manusia.
Di dalam sebuah kehidupan tata negara, pendidikan merupakan hal yang sangat urgen. Karena eksistensi pendidikan merupakan penentu jalannya roda kehidupan di suatu negara. Misalnya, eksistensi sumber daya manusia yang baik sangat diperlukan dalam mengatur sebuah kehidupan suatu negara. Sehingga dapat dilihat, jika suatu negara mengalami kemajuan, maka dapat dipastikan akibat dari penerapan proses pendidikan yang baik di negara tersebut. Berangkat dari permasalahan tersebut maka peran pemerintah diperlukan dalam mengatur jalannya proses pendidikan.
Di Indonesia sendiri pemerintah telah mengatur jalannya proses pendidikan. Pemerintah mengaturnya di dalam Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, di dalam Peraturan Pemerintah No. 19 Tahun 2005 Tentang Standar Nasional Pendidikan, dan Peraturan Pemerintah No. 17 Tahun 2010 Tentang Pengelolaan dan Penyelenggaraan Pendidikan. Tetapi yang menjadi sebuah pertanyaan, apakah proses pendidikan di Indonesia sesuai dengan harapan masyarakat Indonesia itu sendiri dan sesuai dengan etika pendidikan? Pertanyaan tersebut akan di jawab dalam makalah ini.

B.       Rumusan Masalah
1.      Bagaimana teori etika pendidikan?
2.    Bagaimana penjelasan kurikulum yang diatur dalam Undang-Undang R.I. No. 20 Tahun 2003 Tentang SISDIKNAS?
3.    Bagaimana penjelasan kurikulum dan pendidikan berbasis keunggulan lokal dalam Peraturan Pemerintah No. 19 Tahun 2005 Tentang Standar Nasional Pendidikan dan Peraturan Pemerintah No. 17 Tahun 2010 Tentang Pengelolaan dan Penyelenggaraan Pendidikan?
4.    Bagaimana konsep local wisdom (kearifan lokal) dalam pendidikan?
5.    Bagaimana analisis peraturan perundang-undangan dan Local Wisdom menurut etika pendidikan

C.      Tujuan
1.      Untuk mengetahui dan memahami teori etika pendidikan.
2.    Untuk mengetahui dan memahami penjelasan kurikulum yang diatur dalam Undang-Undang R.I. No. 20 Tahun 2003 Tentang SISDIKNAS.
3.    Untuk mengetahui dan memahami penjelasan kurikulum dan pendidikan berbasis keunggulan lokal dalam Peraturan Pemerintah No. 19 Tahun 2005 Tentang Standar Nasional Pendidikan dan Peraturan Pemerintah No. 17 Tahun 2010 Tentang Pengelolaan dan Penyelenggaraan Pendidikan.
4.    Untuk mengetahui dan memahami konsep local wisdom (kearifan lokal) dalam pendidikan.
5.    Untuk mengetahui dan memahami analisis peraturan perundang-undangan dan Local Wisdom menurut etika pendidikan.

D.      Manfaat
Mahasiswa dapat menganalisis kebijakan-kebijakan yang berkaitan dengan kurikulum dan pendidikan berbasis keunggulan lokal yang terdapat dalam Undang-Undang R.I. No. 20 Tahun 2003 tentang SISDIKNAS, Peraturan Pemerintah No. 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan, dan Peraturan Pemerintah No. 17 Tahun 2010 tentang Pengelolaan dan Penyelenggaraan Pendidikan.
BAB II
PEMBAHASAN

A.      Teori Etika Pendidikan
1.    Pengertian Etika
Pengertian etika sering disamakan dengan pengertian akhlak atau moral. Ada pula ulama yang mengatakan bahwa akhlak merupakan etika Islam. Sedangkan, kata etika sendiri berasal dari kata latin ethics, dalam bahasa Gerik: Ethikos is a body of moral principles or values. Ethic arti sebenarnya adalah kebiasaan. Namun, lambat laun pengertian etika berubah, seperti sekarang. Etika ialah suatu ilmu yang membicarakan masalah perbuatan atau tingkah laku manusia.[1]
Di dalam buku kamus Istilah Pendidikan dan Umum, dinyatakan bahwa etika adalah bagian filsafat yang mengajarkan tentang keluhuran budi (baik buruk).[2]  Sedangkan dalam kamus umum bahasa Indonesia, mengartikan etika dengan ilmu pengetahuan tentang asas-asas akhlak (moral).[3] Dapat disimpulkan bahwa objek pembahsan dari etika ini adalah tingkah laku manusia untuk menetapkan nilai, baik atau buruk. Dari sini dapat dipahami bahwa objek pembahasan etika adalah tindakan-tindakan seseorang yang dapat diberikan nilai baik atau buruk, yaitu perkataan atau perbuatan yang termasuk dala kategori etika.
2.    Macam-Macam Etika
Manusia disebut etis, ialah manusia secara utuh dan menyeluruh mampu memenuhi hajat hidupnya dalam rangka asas keseimbangan antara kepentingan pribadi dengan pihak yang lainnya, antara rohani dengan jasmaninya dan antara makhluk berdiri sendiri dengan penciptanya.[4] Termasuk didalamnya membahas nilai-nilai atau norma-norma yang dikaitkan dengan etika, terdapat dua macam etika, yaitu:
a.      Etika Diskriptif.
Etika deskriptif ini berbicara mengenai fakta apa adanya, yaitu mengenai nilai dan pola perilaku manusia sebagai suatu fakta yang terkait dengan situasi dan reliatas kongkret yang mempunyai potensi. Ia juga berbicara mengenai kenyataan penghayatan nilai,tanpa menilai dalam suatu masyarakat, tentang sikap orang dalam menghadapi hidup ini, dan tentang kondisi yang memungkinkan manusia bertindak secara etis.[5] Dapat disimpulkan bahwa etika deskriptif yaitu tentang penghayatan nilai atau tanpa nilai dalam suatu masyarakat yang dikaitkan dengan kondisi tertentu yang memungkinkan manusia bertindak secara etis.
b.      Etika Normatif.
Etika normatif ini berbicara mengenai norma-norma yang menuntun tingkah laku manusia, serta memberi penilian dan imbauan kepada manusia untuk bertindak sebagaimana seharusnya berdasarkan norma-norma.[6] Jadi, etika normatif merupakan norma-norma yang dapat menuntun agar manusia bertindak secara baik dan menghindarkan hal-hal yang buruk, sesuai dengan kaidah atau norma yang disepakati dan yang berlaku di masyarakat.
3.      Teori Etika Pendidikan
Teleology
a.       Satu tindakan dianggap secara moral benar atau bisa diterima di dalam pendidikan jika itu menghasilkan keinginan dari  sebagian orang, yaitu pengetahuan, pertumbuhan karier, suatu kepentingan atau kegunaan diri dan masyarakat.
b.      Menaksir nilai moral dari suatu tingkah laku dengan memperhatikan akibat-akibatnya (consequentialism)
Dua Pendekatan Teleology :
a.        Egoisme: tingkah laku bisa diterima atau benar  dengan maksimalkan kepentingan diri sendiri, terkait dengan akibat-akibat dan alternatif solusi yang dapat menyumbang dan  menambah manfaat kepada kepentingan diri sendiri.[7] Suatu kebijakan dalam dunia pendidikan dianggap benar jika sesuai dengan manfaat yang diharapkan oleh setiap individu.
b.       Utilitarianisme: tingkah laku dianggap benar jika dapat bermanfaat kepada kepentingan publik. Suatu kebijakan dalam dunia pendidikan dianggap benar jika sesuai dengan kepentingan masyarakat.

B.       Undang-Undang R.I. No. 20 Tahun 2003 Tentang SISDIKNAS
a.    Pasal 1 ayat 1 pendididikan adalah usaha sadar dan terncana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.[8]
b.    Pasal 1 ayat 19: kurikulum adalah seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi, dan bahan pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu.[9]
c.    Pasal 36 ayat 2: kurikulum pada semua jenjang dan jenis pendidikan dikembangkan dengan prinsip diversifikasi sesuai dengan satuan pendidikan, potensi daerah, dan peserta didik.[10]
d.   Pasal 36 ayat 3: kurikulum disusun sesuai dengan jenjang pendidikan dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia dengan memperhatikan (a) peningkatan iman dan takwa; (b) peningkatan akhlak mulia; (c) peningkatan potensi, kecerdasan, dan minat peserta didik; (d) keragaman potensi daerah dan lingkungan; (e) tuntutan pembangunan daerah dan nasional; (f) tuntutan dunia kerja; (g) perkembangna ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni; (h) agama; (i) dinamika perkembangna global; (j) persatuan nasional dan nilai-nilai kebangsaan.[11]
e.    Pasal 37 ayat 1: kurikulum pendidikan dasar dan menengah wajib memuat: (a) pendidikan agama; (b) pendidikan kewarganegaraan; (c) bahasa; (d) matematika; (e) ilmu pengetahuan alam; (f) ilmu pengetahuan sosial; (g) seni dan budaya; (h) pendidikan jasmani dan olahraga; (i) keterampilan/kejuruan; (j) muatan lokal.[12]

C.      Peraturan Pemerintah
1.    Peraturan Pemerintah No. 19 Tahun 2005 Tentang Standar Nasional Pendidikan.
a.    Pasal 14 ayat 1: kurikulum untuk SMP/MTs/SMPLB atau bentuk lain yang sederajat dan kurikulum untuk SMA/MA/SMALB atau bentuk lain yang sederajat dapat memasukkan pendidikan berbasis keunggulan lokal.
b.    Pasal 14 ayat 2: pendidikan berbasis keunggulan lokal sebagaimana pada ayat (1) dapat merupakan bagian dari pendidikan kelompok mata pelajaran agama dan akhlak mulia, pendidikan kelompok mata pelajaran kewarganegaraan dan kepribadian, pendidikan kelompok mata pelajaran ilmu pengetahuan dan teknologi, pendidikan kelompok mata pelajaran estetika, atau kelompok mata pelajaran pendidikan jasmani, olah raga, dan kesehatan.
c.    Pasal 14 ayat 3: pendidikan berbasis keunggulan lokal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan (2) dapat diperoleh peserta didik dari satuan pendidikan yang bersangkutan atau dari satuan pendidikan non formal yang sudah memperoleh akreditasi.
d.   Pasal 17 ayat 1: kurikulum tingkat satuan pendidikan SD/MI/SDLD, SMP/MTs/SMPLB, SMA/MA/SMALB, SMK/MAK, atau bentuk lain yang sederajat dikembangkan sesuai dengan satuan pendidikan, potensi daerah/karakteristik daerah, sosial budaya masyarakat setempat, dan peserta didik.
Pada tanggal 7 Mei 2013 lalu, Presiden Republik Indonesia, Susilo Bambang Yudhoyono, telah menandatangani sebuah peraturan baru yaitu  Peraturan Pemerintah No. 32 Tahun 2013 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah No. 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan. Beberapa pasal dalam PP No. 19 tahun 2005 dihapus termasuk pasal 14 dan 17 sebagaimana yang tercantum di atas.  Dalam Peraturan Pemerintah No. 32 Tahun 2013 ini di antara BAB XI dan BAB XII disisipkan 1(satu) bab, yakni BAB XIA  yang secara khusus berisi pasal-pasal yang mengatur tentang KURIKULUM.[13]

2.    Peraturan Pemerintah No. 32 Tahun 2013 (Perubahan Atas Peraturan Pemerintah No. 19 Tahun 2005)
a.    Pasal 77A ayat (1): Kerangka Dasar Kurikulum berisi landasan filosofis, sosiologis, psikopedagogis, dan yuridis sesuai dengan Standar Nasional Pendidikan.
b.    Pasal 77A ayat (2): Kerangka Dasar Kurikulum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) digunakan sebagai:  a. acuan dalam Pengembangan Struktur Kurikulum pada tingkat nasional; b. acuan dalam Pengembangan muatan lokal pada tingkat daerah; dan  c. pedoman dalam Pengembangan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan.
c.    Pasal 77B ayat (7): Struktur Kurikulum untuk satuan pendidikan menengah terdiri atas:  a. muatan umum;  b. muatan peminatan akademik;  c. muatan peminatan kejuruan; dan  d. muatan pilihan lintas minat/pendalaman minat.
d.   Pasal 77B ayat (9): Muatan umum sebagaimana dimaksud pada ayat (6) dan ayat (7) huruf a terdiri atas:  a. muatan nasional untuk satuan pendidikan; dan  b. muatan lokal untuk satuan pendidikan sesuai dengan potensi dan keunikan lokal.
e.    Pasal 77H ayat (1): Struktur Kurikulum pendidikan dasar berisi muatan Pembelajaran atau mata pelajaran yang dirancang untuk mengembangkan Kompetensi spiritual keagamaan, sikap personal dan sosial, pengetahuan, dan keterampilan.
f.     Pasal 77H ayat (2): Struktur Kurikulum pendidikan dasar terdiri atas Struktur Kurikulum:  a. SD/MI, SDLB atau bentuk lain yang sederajat; dan b. SMP/MTs, SMPLB atau bentuk lain yang sederajat.
g.    Pasal 77I ayat (1): Struktur Kurikulum SD/MI, SDLB atau bentuk lain yang sederajat terdiri atas muatan:  a) pendidikan agama; b) pendidikan kewarganegaraan; c) bahasa; d) matematika; e) ilmu pengetahuan alam; f) ilmu pengetahuan sosial; g) seni dan budaya; h) pendidikan jasmani dan olahraga; i) keterampilan/kejuruan; dan j) muatan lokal.
h.    Pasal 77N ayat (1): Muatan lokal untuk setiap satuan pendidikan berisi muatan dan proses Pembelajaran tentang potensi dan keunikan lokal.
i.      Pasal 77N ayat (2): Muatan lokal dikembangkan dan dilaksanakan pada setiap satuan pendidikan.
j.      Pasal 77P ayat (3): Pemerintah daerah provinsi melakukan koordinasi dan supervisi pengelolaan muatan lokal pada pendidikan menengah.
k.    Pasal 77P ayat (4): Pemerintah daerah kabupaten/kota melakukan koordinasi dan supervisi pengelolaan muatan lokal pada pendidikan dasar.
l.      Pasal 77P ayat (5): Pengelolaan muatan lokal sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan ayat (4) meliputi penyiapan, penyusunan, dan evaluasi: a. dokumen muatan lokal; b. Buku Teks Pelajaran; dan c. Buku Panduan Guru.
m.  Pasal 77P ayat (6): Dalam hal seluruh kabupaten/kota pada 1 (satu) provinsi sepakat menetapkan 1 (satu) muatan lokal yang sama, koordinasi dan supervisi pengelolaan Kurikulum pada pendidikan dasar dilakukan oleh pemerintah daerah provinsi.
n.    Pasal 77P ayat (7): Satuan pendidikan mengelola:  a. muatan lokal;  b. Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan; dan  c. rencana pelaksanaan Pembelajaran dan pelaksanaan Pembelajaran.

3.    Peraturan Pemerintah No. 17 Tahun 2010 Tentang Pengelolaan dan Penyelenggaraan Pendidikan.
a.    Pasal 155: satuan pendidikan berbasis keunggulan lokal merupakan satuan pendidikan yang telah memenuhi Standar Nasional Pendidikan dan diperkaya dengan keunggulan kompetitif dan atau komparatif daerah.
b.   Pasal 156 ayat 2: pemerintah kabupaten/kota memfasilitasi penyelenggaraan satuan pendidikan berbasis keunggulan lokal pada jenjang pendidikan dasar dan menengah yang diselenggarakan masyarakat.
c.    Pasal 157 ayat 1: keunggulan lokal sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 156 dikembangkan berdasarkan keunggulan kompetitif dan atau komparatif daerah di bidang seni, pariwisata pertanian, kelautan, perindustrian, dan bidang lain.
d.   Pasal 157 ayat 2: satuan pendidikan dasar dan menengah yang dikembangkan menjadi berbasis keunggulan lokal harus diperkaya dengan muatan pendidikan kejuruan yang terkait dengan potensi ekonomi, sosial, dan atau budaaya setempat yang merupakan keunggulan kompetitif dan atau komparatif daerah.
e.    Pasal 158 ayat 2: pemerintah, pemerintah provinsi, pemerintah kabupaten/kota, atau masyarakat dapat mendirikan sekolah/madrasah baru yang berbasis keunggulan lokal dengan persyaratan memenuhi: (1) Standar Nasional Pendidikan sejak sekolah/madrasah berdiri, dan (2) pedoman penjaminan mutu sekolah/madrasah berbasis keunggulan lokal yang ditetapkan oleh menteri sejak sekolah/madrasah berdiri.

D.      Peraturan Menteri
Peraturan Menteri Pendidikan Nasional nomor 63 Tahun 2009 Tentang Sistem Penjaminan Mutu Pendidikan.
a.    Pasal 10 ayat (1): Penjaminan mutu pendidikan oleh satuan atau program pendidikan ditujukan untuk memenuhi tiga tingkatan acuan mutu, yaitu: a) SPM; b) SNP; dan c) Standar mutu pendidikan di atas SNP.
b.    Pasal 10 ayat (2): Standar mutu pendidikan di atas SNP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa: a) Standar mutu di atas SNP yang berbasis keunggulan lokal, b) Standar mutu di atas SNP yang mengadopsi dan/atau mengadaptasi standar internasional tertentu.
c.    Pasal 11 ayat (4): Standar mutu di atas SNP yang berbasis keunggulan lokal dapat dirintis pemenuhannya oleh satuan pendidikan yang telah memenuhi SPM dan sedang dalam proses memenuhi SNP.



E.       Local Wisdom (Kearifan Lokal)
1.      Pengertian Local Wisdom
           Kearifan lokal atau sering disebut local wisdom dapat diartikan sebagai usaha manusia dengan menggunakan akal budinya (kognisi) untuk bertindak dan bersikap terhadap sesuatu, objek, atau peristiwa yang terjadi dalam ruang tertentu. Pengertian tersebut disusun secara etimologi, di mana wisdom dipahami sebagai kemampuan seseorang atau pribadi dalam menggunakan akal pikirannya dalam bertindak atau bersikap sebagai hasil penilaian terhadap sesuatu, objek, atau peristiwa yang terjadi. Sebagai sebuah istilah wisdom juga sering diartikan sebagai wujud dari makna “kearifan/kebijaksanaan”.
           Local sendiri juga bisa dimaknai secara spesifik menunjuk pada ruang interaksi terbatas dengan sistem nilai yang terbatas pula. Sebagai ruang interaksi yang sudah didesain sedemikian rupa yang di dalamnya melibatkan suatu pola-pola hubungan antara manusia dengan manusia atau manusia dengan lingkungan fisiknya. Didalamnya terjadi pola interaksi yang sudah terdesain dalam sebuah setting kehidupan yang sudah terbentuk secara langsung akan memproduksi nilai-nilai. Nilai-nilai tersebut yang akan menjadi landasan hubungan mereka atau menjadi acuan tingkah-laku mereka.
           Adapun pendidikan berbasis keunggulan lokal adalah usaha untuk mewujudkan pembelajaran yang memanfaatkan keunggulan lokal dalam aspek ekonomi, budaya, teknologi informasi dan komunikasi, bahasa, ekologi, dan lain-lain. Yang semuanya bermanfaat bagi pengembangan potensi peserta didik.
2.      Model Pendidikan Berbasis Keunggulan Lokal
           Pendidikan merupakan proses belajar mengajar yang dapat menghasilkan perubahan di segala hal termasuk perilaku, sikap dan perubahan intelektual. Dengan proses pendidikan membantu mencapai kedewasaan pola pikir dan berinteraksi dengan lingkungannya. Dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang melaju dengan cepat, yang cenderung tak terkendali, bahkan hampir-hampir tak mampu dielakkan oleh dunia pendidikan.
           Seiring dengan perubahan dunia yang begitu mencekam dan telah di dominasi oleh sistem kapitalisme, menyebabkan dehumanisasi sebab meletakkan pendidikan sebagai komoditas untuk mengakumulasi kapital dan mendapatkan keuntungan.[14] Dalam hal ini, sistem pendidikan di era kekinian lebih banyak dibangun atas dekrit kebijakan yang mereproduksi ideologi penguasa kaum borjuis, bukan lahir dari “rahim” kesadaran pembangunan masyarakat baru secara “revolusioner” dan “visioner”. Sebagai contoh, banyak sekolah yang telah melupakan potensi kearifan lokal yang ada disekitar sekolah tersebut. Sehingga nilai-nilai yang ada di daerah sekolah itu terlupakan. Sehingga output dari sekolah tersebut memiliki nilai yang tidak sesuai dengan harapan daerah tersebut. Melihat realitas pendidikan yang cenderung liberatif diperlukan dasar penanaman nilai yang kuat untuk membentengi moralitas peserta didik.
           Menurut pemakalah, sesuai dengan penjelasan di atas, kearifan lokal merupakan solusi bagi permasalahan diatas dan merupakan sesuatu yang tidak dapat dipisahkan dari proses pendidikan. Karena pendidikan yang sejati berfungsi membangun karakter individu agar sesuai dengan nilai-nilai kearifan sehingga sesuai dengan tradisi kebudayaan disekitarnya. Oleh karena itu perlu dikaji ulang untuk kembali kepada makna, esensi, dan filosofi pendidikan nasional itu sendiri, karena pendidikan tidak lepas dari pembelajaran yang mampu menghidupkan kreatifitas, sehingga mampu menjadi representasi terampil dan aktif.
           Disinilah yang menjadi titik tekan dari pendidikan sendiri, sehingga apa yang diharapkan agar terjadi proses transformasi dan akulturasi ilmu dan kebudayaan dapat berjalan dan bersanding.  Pendidikan dan kebudayaan memiliki keterkaitan yang sangat kuat. Pendidikan tidak dapat dipisahkan dengan kebudayaan. Tanpa proses pendidikan tidak mungkin kebudayaan itu berlangsung dan berkembang. Sehingga dapat diartikan pendidikan sendiri merupakan proses pembudayaan.
           Terlebih di Indonesia yang notabene suatu bangsa yang kaya akan potensi lokalnya. Karena bangsa Indonesia wilayahnya sangat luas sehingga terdapat banyak keragaman agama, suku, budaya, adat istidat. Maka dalam proses pendidikannya harus memperhatikan dan mempertimbangkan nilai-nilai bangsa yang berakar dari berbagai daerah. Sehingga model pendidikan karakter berbasis kearifan budaya lokal merupakan satu tawaran yang bisa menjadi satu alternatif solusi pendidikan di Indonesia yang diidam-idamkan oleh masyarakat dan menjadi solusi ditengah tekanan liberalisasi kebijakan, hal ini sebagai upaya untuk meletakkan dasar-dasar filosofi pendidikan yang sejati, yaitu bahwa pendidikan tidak terpisahkan dari masyarakat.
3.      Kurikulum Pendidikan Berbasis Lokal
           Pendidikan berbasis keunggulan atau kearifan lokal ini dapat dimasukkan dalam kurikulum maupun dilaksanakan dengan mengadakan ekstrakulikuler. Jika keunggulan lokal diharapkan bisa terangkat dalam pendidikan melalui kegiatan kurikuler, maka ada beberapa langkah yang yang harus dilakukan, antara lain diperlukan pengembangan kurikulum yang spesifik. Dalam hal ini kurikulum jangan hanya menekankan pada pendekatan epistimological. Dalam pendekatan epistimologis, kurikulum hanya didesign untuk menyiapkan siswa dalam penguasaan disiplin ilmu pengetahuan tertentu. Pendekatan pengembangan kurikulum model ini hanya akan mengantarkan penguatan karakter dan cara berfikir tertentu, dan kurang society-problem oriented.
           Pengembangan keunggulan lokal, tidak hanya memerlukan penguasaan disiplin ilmu tertentu, melainkan lebih dari itu memerlukan kecakapan individual maupun kelompok dalam memahami dan bertanggung jawab atas permasalahan yang dihadapi masyarakatnya, beserta berusaha menggali potensi daerahnya yang bisa digunakan untuk memecahkannya.[15]
           Dimensi objectif kurikulum yang bisa memberikan dasar pengembangan pengetahuan teknikal juga diperlukan untuk pengembangan keunggulan lokal. Berikut ini beberapa pendekatan yang dapat digunakan dalam pengembangan kurikulum pendidikan berbasis lokal:
1)      Technical-scientific curriculum
            Dipandang berguna karena bisa menghantarkan siswa didik lebih akrab dengan teknologi yang mendasari prinsip efisiensi kerja. Namun, jika pendekatan ini terlalu dikedepankan bisa tereduksi dan bias yang bisa menjadikan pendidikan sekedar instrumen, lalu menempatkan siswa didik sebagai mesin atau tools. Pendekatan ini bisa mendehumanisasi siswa didik. Oleh karena itu, pendekatan ini bisa digunakan namun sebagai pelengkap teknikal dari upaya memahami dan memanfaatkan secara teknis terhadap sumber-sumber keunggulan daerah.
2)      Society-problem oriented curriculum
            Dengan model kurikulum ini, seperti dijelaskan oleh McKernan, siswa didik dibawa untuk menjadi manusia cerdas mengidentifikasi permasalahan yang dihadapi masyarakatnya. Siswa didik juga dihantarkan untuk bisa mengidentifikasi dan memahami potensi yang dimiliki masyarakat yang bersangkutan, yang bisa dijadikan modal memecahkan problema masyarakat itu sendiri.
3)      Learned-centered approach
            Mengingat pembelajaran akan efektif jika berkait dengan minat, kepentingan, karakter dan konstruk siswa didik, maka pengembangan kurikulum pendidikan berbasis keunggulan lokal, harus tetap menempatkan learned-centered approach. Dalam hal ini, pendidikan harus berangkat dari minat, kepentingan dan karakter siswa didik dan bukan hasil dari pemaksaan kepentingan eksternal siswa itu sendiri.
            Paradigma pendidikan konstruktifistik dengan demikian perlu diadopsi dalam pengembangan pendidikan berbasis keunggulan lokal. Melalui paradigma ini, pendidikan dikembangkan berangkat dari self concept siswa, lalu lebih banyak memanfaatkan sumber-sumber nyata dari lingkungan di sekitar untuk menunjang pembelajaran. Dalam paradigma konstruktifistik, proses pembelajaran dilakukan secara autentik –dengan memberi sebanyak mungkin kesempatan siswa mengalami secara nyata ke tengah subyek kehidupan. Dalam hal ini pembelajaran dilakukan dalam upaya mencerdaskan kemampuan berfikir dalam kehidupan nyata di masyarakat.
            Sebaliknya situasi atau keadaan sekitar dapat menginspirasinya untuk melakukan perubahan berfikir. Masing-masing, yakni pemikiran dan lingkungan selalu berinteraksi secara timbal balik. Dalam praktik pembelajaran, aktifitas merupakan media yang dipandang efektif dengan memanfaatkan artefak budaya yang ada –baik yang berbentuk fisik maupun simbolik, sebagai media pembelajaran yang sangat penting
           Dengan demikian pimpinan sekolah, para guru, dan staf harus dipersiapkan untuk mengawal model spesifik dari pendidikan berbasis keunggulan lokal ini. Demikian juga sarana prasarana yang menunjang upaya memahami dan mengeksplorasi potensi lokal perlu dilengkapi, jika menghendaki investasi di bidang ini membuahkan hasil yang nyata.[16]

F.       Analisis Peraturan Perundang-Undangan dan Local Wisdom Menurut Etika Pendidikan
Ketika suatu proses pendidikan di suatu negara berjalan dengan kebijakan-kebijakan yang mengaturnya, maka harus ada pengawasan terhadapnya. Hal ini sangat diperlukan apakah proses pendidikan yang berjalan sesuai dengan apa yang menjadi harapan rakyat. Buat apa kebijakan-kebijakan dalam pendidikan ditelurkan jika tidak pro dengan rakyat. Bahkan sampai membuat rakyat menderita dan sengsara dengan adanya kebijakan-kebijakan tersebut.
Sebagaimana yang telah dijabarkan di atas bahwa pendidikan yang ideal itu tidak bisa dipisahkan dari rakyat atau masyarakat. Hal ini dikarenakan masyarakat merupakan subyek sekaligus obyek pendidikan. Dikatakan subyek karena masyarakat menjadi pelaku pendidikan. Dan dikatakan obyek karena masyarakat menjadi sasaran atau tujuan pendidikan sendiri.
Pendidikan merupakan alat atau wadah untuk mencetak masyarakat yang memiliki sumber daya manusia yang unggul, kompetitif, dan berakhlak mulia. Rakyat atau masyarakat merupakan tiang negara. Jika tiang ini tidak kokoh maka negara akan hancur. Terlebih-lebih para pemuda yang menjadi tonggak estafet pemerintah dalam menjalankan roda pemerintahan. Sebagaimana pepatah agama yang artinya: para pemuda adalah pewaris generasi tua.
Proses pendidikan memerlukan rancangan yang baik untuk memenuhi tujuannya yang disebut dengan kurikulum. Kurikulum merupakan dokumen dan pedoman penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu. Dari kurikulum itulah tersurat dan tersirat tujuan pendidikan yang diharapkan. Tidak hanya itu, dari kurikulum ini dapat juga dilihat model pembelajaran yang menggali potensi-potensi lokal daerah (penerapan pendidikan berbasis keunggulan atau kearifan lokal).
Di Indonesia mengenai kurikulum dan pendidikan berbasis lokal telah diatur di dalam perundang-undangan. Yaitu di dalam Undang-Undang R.I. No. 20 Tahun 2003 Tentang SISDIKNAS, Peraturan Pemerintah No. 19 Tahun 2005 Tentang Standar Nasional Pendidikan, dan Peraturan Pemerintah No. 17 Tahun 2010 Tentang Pengelolaan dan Penyelenggaraan Pendidikan. Meski pada 7 Mei 2013 lalu telah ditetapkan Peraturan Pemerintah Nomor 32 tahun 2013 sebagai perubahan atas Peraturan Pemerintah No. 19 Tahun 2005, namun esensi dari pendidikan berbasis keunggulan lokal sesungguhnya tidak banyak berubah. Sekarang yang menjadi pertanyaan apakah kebijakan kurikulum dengan menerapkan pendidikan berbasis keunggulan atau kearifan lokal sudah diterapkan di semua sekolah? Dan apakah kebijakan kurikulum dengan menerapkan pendidikan berbasis keunggulan atau kearifan lokal sudah sesuai dengan etika pendidikan.
Menurut pemakalah, sesuai dengan undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 (kini disempurnakan menjadi UU Nomor 32 Tahun 2004) tentang pemerintah daerah menuntut pelaksanaan otonomi daerah dan wawasan demokrasi dalam penyelenggaraan pendidikan.[17] Dengan ini berarti setiap daerah memiliki kewenangan untuk menentukan pelaksanaan pendidikan, maka pendidikan berbasis keunggulan atau kearifan lokal ini dapat dimasukkan dalam kurikulum maupun dilaksanakan dengan mengadakan ekstrakulikuler. Seharusnya semua sekolah telah menerapkan kurikulum dengan menerapkan pendidikan berbasis keunggulan atau kearifan lokal.
Selanjutnya jika mengacu pada Permendiknas Nomor 63 Tahun 2009 tentang Sistem Penjaminan Mutu Pendidikan, maka satuan pendidikan yang dapat menggunakan program pendidikan berbasis keunggulan lokal adalah satuan pendidikan yang telah melampaui standar pelayanan minimal (SPM) dan standar nasional pendidikan (SNP). Standar mutu di atas SNP yang berbasis keunggulan lokal dapat dirintis pemenuhannya oleh satuan pendidikan yang telah memenuhi SPM dan sedang dalam proses  memenuhi SNP. Pendidikan berbasis keunggulan lokal dapat diperoleh peserta didik dari satuan pendidikan yang bersangkutan atau dari satuan pendidikan nonformal yang sudah memperoleh akreditasi.
Menurut Jamal Ma’mur Asmani, ada beberapa hal yang harus di perhatikan sekolah dalam pelaksanaan pendidikan berbasis keunggulan lokal ini, diantaranya kondisi sekolah, bahan kajian, program pengajaran, dan alokasi waktu.[18] Kondisi sekolah misalnya bagi sekolah yang mampu mengembangkan standar kompetensi dan kompetensi dasar beserta silabusnya dapat melaksanakan mata pelajaran keunggulan lokal. Apabila sekolah belum mampu mengembangkannya maka sekolah dapat melaksanakan keunggulan lokal berdasarkan kegiatan yang di rencanakan oleh sekolah. Bahan pelajaran hendaknya juga sesuai dengan tingkat perkembangan peserta didik baik perkembangan pengetahuan, emosional serta sosial peserta didik. Dalam kaitan sumber belajar hendaknya memanfaatkan potensi keunggulan lokal di sekolah. Misalnya memanfaatkan lahan kosong yang ada di sekolah dengan melibatkan peserta didik aktif dalam kegiatan ini. Bahan yang diajarkan hendaknya bersifat utuh, artinya mengacu pada suatu tujuan pengajaran yang jelas. Bahan kajian keunggulan lokal dapat disusun dan diberikan dalam jangka waktu satu semester atau satu tahun ajaran, tergantung dengan kebijakan sekolah. Alokasi waktu untuk bahan pelajaran keunggulan lokal perlu memperhatikan jumlah minggu efekif untuk mata pelajaran keunggulan lokal pada setiap semester.
Kebijakan kurikulum dengan menerapkan pendidikan berbasis keunggulan atau kearifan lokal sudah sesuai dengan etika pendidikan. Karena Konsep pengembangan keunggulan atau kearifan lokal diinspirasi dari berbagai potensi, yaitu Sumber Daya Alam (SDA), Sumber Daya Manusia (SDM), geografis, budaya, dan historis. Dimana semuanya itu sesuai dengan tujuan dari pendidikan itu sendiri yang tidak dapat dipisahkan dari masyarakat.
Potensi keunggulan dan kearifan lokal dijadikan landasan pendidikan karena di Indonesia banyak sekali potensi keunggulan lokal baik dari konsep potensi SDA, SDM, potensi geografis, potensi budaya dan potensi historis yang belum terkelola dengan baik, sehingga belum dapat dirasakan manfaatnya oleh masyarakat Indonesia maupun masyarakat sekitar. Banyak sekali masyarakat daerah yang memilih untuk merantau ke ibu kota untuk mencari lapangan pekerjaan, padahal di daerahnya memiliki potensi sumber daya alam yang melimpah.
Pada umumnya masyarakat belum mengetahui sumber daya yang ada di daerah mereka, sehingga potensi keunggulan lokal belum dapat dimanfaatkan. Keunggulan lokal dijadikan landasan pendidikan agar peserta didik dan masyarakat dapat mengetahui apa saja keunggulan lokal di daerah masing-masing agar masyarakat dapat memahami aspek-aspek yang berhubungan dengan keunggulan lokal tersebut. Sehingga masyarakat mampu mengolah sumber daya yang ada agar dapat bermanfaat untuk kelangsungan kehidupan dan perekonomian daerah tersebut sekaligus melestarikan budaya, tradisi, dan sumber daya yang menjadi unggulan daerah. Pendidikan berbasis keunggulan dan keraifan lokal ini juga memiliki tujuan agar Indonesia mampu bersaing secara global.
Pelaksanaan pendidikan berbasis keunggulan dan kearifan lokal di Indonesia dapat dilakukan dengan cara melibatkan pihak lain yakni Tim Pengembang Kurikulum (TPK) di daerah, lembaga penjamin mutu pendidikan (LPMP), perguruan tinggi, serta instansi luar Depdikbud, misalnya Pemda, dan Departermen lainnya.[19] Lembaga-lembaga ini memiliki peran mulai dari mengidentifikasi keadaan dan kebutuhan daerah masing-masing hingga melengkapi sarana prasarana pendidikan yang diperlukan untuk kebutuhan penyelenggaraan pendidikan berbasis keunggulan dan kearifan lokal. Namun sebagai penyelenggara pendidikan berbasis keunggulan dan kearifan lokal sebaiknya sekolah tidak menggantungkan kepada lembaga-lembaga yang ada. Pihak sekolah harus pro aktif melakukan kajian, konsultasi, sosialisasi, dan pemantapan manajemen untuk melaksanakan pendidikan berbasis keunggulan lokal ini.
Pendidikan berbasis keunggulan dan kearifan lokal sejalan dengan kurikulum yang di desain yaitu kurikulum yang mengaktifkan peserta didiknya dalam proses pembelajaran. Dimana tujuan pembelajarannya penguasaan kompetensi. Kompetensi ini terdiri dari pengetahuan, pemahaman, keterampilan, nilai, sikap dan minat.[20] Hal ini di tandai dengan berubahnya kurikulum 1994 menjadi kurikulum KBK (Kurikulum Berbasis Kompetensi). Pada tahun 2006 kurikulum KBK ini mengalami penyempurnaan dan berubah menjadi KTSP (Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan).[21] Dan pada tahun 2013 ini kurikulum KTSP disempurnakan kembali dengan kurikulum 2013. Pada kurikulum 2013 ini peserta didik dituntut untuk lebih bersikap ilmiah dengan model pembelajaran berangkat dari permasalahan baik permasalahan yang di alami oleh peserta didik itu sendiri dalam kehidupan sehari-hari maupun yang terjadi di kehidupan masyarakat. Meskipun mengalami perubahan nama kurikulum, tetapi esensi dari ketiga kurikulum itu sama, yaitu menekankan peserta didik yang aktif dalam proses pembelajaran. Sedangkan guru berperan sebagai fasilitator dan perancang pembelajaran.
BAB III
PENUTUP

A.      Kesimpulan
1.    Salah satu teori etika pendidikan adalah teori teleology yang mempunyai 2 macam pendekatan, yakni: 1) Egoisme: tingkah laku bisa diterima atau benar  dengan maksimalkan kepentingan diri sendiri, terkait dengan akibat-akibat dan alternatif solusi yang dapat menyumbang dan  menambah manfaat kepada kepentingan diri sendiri. Suatu kebijakan dalam dunia pendidikan dianggap benar jika sesuai dengan manfaat yang diharapkan oleh setiap individu, (2) Utilitarianisme: tingkah laku dianggap benar jika dapat bermanfaat kepada kepentingan publik. Suatu kebijakan dalam dunia pendidikan dianggap benar jika sesuai dengan kepentingan masyarakat.
2.    Berikut ini peraturan-peraturan yang menjadi landasan penyelenggaraan pendidikan berbasis keunggulan lokal:
-          Undang-Undang R.I. No. 20 Tahun 2003 Tentang SISDIKNAS: pasal 1 ayat 1, pasal 1 ayat 19, pasal 36 ayat 2, pasal 36 ayat 3 dan pasal 37 ayat 1
-          Peraturan Pemerintah No. 19 Tahun 2005 Tentang Standar Nasional Pendidikan (Pasal 14 ayat 1, Pasal 14 ayat 2, Pasal 14 ayat 3, Pasal 17 ayat 1)
-          Peraturan Pemerintah No. 32 Tahun 2013 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah No. 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan (adanya penambahan BAB XIA yang secara khusus berisi pasal-pasal yang mengatur tentang kurikulum termasuk kurikulum pendidikan berbasis keunggulan lokal)
-          Peraturan Pemerintah No. 17 Tahun 2010 Tentang Pengelolaan dan Penyelenggaraan Pendidikan (Pasal 155, Pasal 156 ayat 2, Pasal 157 ayat 1, Pasal 157 ayat 2 dan Pasal 158 ayat 2)
3.    Pendidikan berbasis keunggulan lokal adalah usaha untuk mewujudkan pembelajaran yang memanfaatkan keunggulan lokal dalam aspek ekonomi, budaya, teknologi informasi dan komunikasi, bahasa, ekologi, dan lain-lain. Yang semuanya bermanfaat bagi pengembangan potensi peserta didik. Beberapa pendekatan yang dapat digunakan dalam pengembangan kurikulum pendidikan berbasis lokal: Technical-scientific curriculum, Society-problem oriented curriculum dan Learned-centered approach 
4.    Kebijakan kurikulum dengan menerapkan pendidikan berbasis keunggulan atau kearifan lokal sudah sesuai dengan etika pendidikan. Karena konsep pengembangan keunggulan atau kearifan lokal diinspirasi dari berbagai potensi, yaitu Sumber Daya Alam (SDA), Sumber Daya Manusia (SDM), geografis, budaya, dan historis. Dimana semuanya itu sesuai dengan tujuan dari pendidikan itu sendiri yang tidak dapat dipisahkan dari masyarakat. Pendidikan berbasis keunggulan dan keraifan lokal ini juga memiliki tujuan agar Indonesia mampu bersaing secara global.

5.        Saran
Sebaiknya keunggulan atau kearifan lokal perlu diperhatikan agar masyarakat dan generasi muda Indonesia bisa menyadari akan potensi yang ada di daerahnya, supaya generasi muda  dapat mengelolanya dengan baik dan dapat bermanfaat bagi daerahnya maupun masyarakat Indonesia. Dan sebaiknya pendidikan berbasis keunggulan atau kearifan lokal ini di berikan kepada peserta didik mulai dari sekolah dasar hingga perguruan tinggi melalui kurikulum yang materinya mengandung pendidikan berbasis keunggulan atau kearifan lokal di daerah masing-masing maupun potensi keunggulan atau kearifan lokal secara keseluruhan yang ada di Indonesia.

DAFTAR PUSTAKA
Asmani, Jamal Ma’mur. Pendidikan Berbasis Keunggulan Lokal. Yogyakarta: DIVA Perss, 2012.
Fakih, Mansour. Komodifikasi Pendidikan Sebagai Ancaman Kemanusiaan. Yogyakarta: Insist Press,  2001.
Kemendikbud, UU No. 20 Th. 2003 Tentang SISDIKNAS dan PP R.I. Th. 2010 Tentang Penyelenggaraan Pendidikan dan Wajib Belajar. Bandung: Citra Umbara, 2011.
Mudlofir, Ali. Aplikasi Pengembangan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan dan Bahan Ajar dalam Pendidikan Islam. Jakarta: Rajawali Pers, 2012.
Maliki, Zainuddin. Pendidikan Berbasis Keunggulan Lokal. Jurnal: Widyaiswara Madya BDK Surabaya
Purwadarminta, W. J. S. Kamus Umum Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka, 1996.
Rahmaniyah, Istighfarotur .Pendidikan Etika. Malang: UIN maliki Press, 2010.
Salam, Burhanuddin. Etika Individual: Pola Dasar Filsafat Moral. Jakarta: PT Rineka Cipta, 2000
Sastrapradja, M. Kamus Istilah Pendidikan dan Umum. Surabaya: Usaha Nasional, 1981
Supriadi, Etika dan Tanggung Jawab Profesi Hukum di Indoseia. Jakarta: PT Sinar Grafika, 2006.
Sanjaya, Wina. Pembelajaran dalam Implementasi Kurikulum Berbasis Kompetensi. Jakarta: Prenada Media, 2005.








[1]Burhanuddin Salam, Etika Individual: Pola Dasar Filsafat Moral (Jakarta: PT Rineka Cipta, 2000), 3.
[2]M. Sastrapradja, Kamus Istilah Pendidikan dan Umum (Surabaya: Usaha Nasional, 1981), 144.
[3]W. J. S. Purwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka, 1996), 270.

[4]Istighfarotur Rahmaniyah, Pendidikan Etika (Malang: UIN maliki Press, 2010), 66.
[5]Burhanudin Salam, Etika Individual ..., 3-4.
[6]Supriadi, Etika dan Tanggung Jawab Profesi Hukum di Indoseia (Jakarta: PT Sinar Grafika, 2006), 11.
[8]Kemendikbud, UU No. 20 Th. 2003 Tentang SISDIKNAS dan PP R.I. Th. 2010 Tentang Penyelenggaraan Pendidikan dan Wajib Belajar (Bandung: Citra Umbara, 2011), 2.
[9]Kemendikbud, UU No. 20, 3.
[10]Kemendikbud, UU No. 20, 19.
[11]Kemendikbud, UU No. 20, 19.
[12]Kemendikbud, UU No. 20, 20.

[14]Mansour Fakih, Komodifikasi Pendidikan Sebagai Ancaman Kemanusiaan (Yogyakarta: Insist Press,  2001), 11.
[15]  Zainuddin Maliki, Pendidikan Berbasis Keunggulan Lokal, Jurnal: Widyaiswara Madya BDK Surabaya
[16]  Zainuddin Maliki, Pendidikan Berbasis Keunggulan Lokal
[17]Jamal Ma’mur Asmani, Pendidikan Berbasis Keunggulan Lokal (Yogyakarta: DIVA Perss, 2012), 42
[18]Jamal Ma’mur Asmani, Pendidikan Berbasis, 50.
[19] Jamal Ma’mur Asmani, Pendidikan Berbasis, 46.
[20] Wina Sanjaya, Pembelajaran dalam Implementasi Kurikulum Berbasis Kompetensi (Jakarta: Prenada Media, 2005), 6.
[21] Ali Mudlofir, Aplikasi Pengembangan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan dan Bahan Ajar dalam Pendidikan Islam (Jakarta: Rajawali Pers, 2012), 32.