Konsep Pendidikan Ibnu Khaldun
Oleh : Khoirul Anam Muawwan
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Dunia
pendidikan islam di Indonesia khususnya dan di dunia islam umumnya masih
dihadapkan pada berbagai persoalan, mulai dari rumusan tujuan pendidikan yang
kurang sejalan dengan tntutan masyarakat sampai kepada persoalan guru, metode,
kurikulum, dan lain sebagainya. Upaya untuk mengatasi masalah tersebut masih
terus dilakukan dengan berbagi upaya. Pelatihan yang cukup bagi tenaga
kependidikan dan lain sebagaianya adalah salah satu dariupaya yang sudah
dilakukan, namun maslaha pendidikan terus bermunculan.
Upaya
untuk memperbaiki kondisi kependidikan yang sedemikian ini tampaknya harus
ditelusuri akar permasalahannya yang bertumpu pada pemikiran filosofis.Sudah
diketahui bahwa filsafat adalah induk dari segala ilmu.
Pendidikan
islam, menurut berbagai pemikir filsafat, masih belum menemukan format dan
bentuknya yang khas sesuai dengan ajaran islam. Hal ini karena konsep
pendidikan yang ditawarkan belum dirancang permasalahannya dengan seksama. Dan
juga belum banyak diperkenalkan pemikiran kependidikan yang dikemukakan para
filosof muslim seperti Al-Ghozali, Ibnu Khaldun, Ibnu Maskawaih, dan lain
sebagainya.
Salah
satu pemikiran konsep pendidikan filosof muslim yaitu telah dikemukakan Ibnu
Khaldun. Menurutnya, pendidikan dan ilmu pertama yang harus dipelajari dan
diajarkan sejak dini adalah ilmu agama yaitu ilmu Al-Quran. Di samping Al-Quran
menjadi sumber utama kebenaran, disana terdapat berbagai petunjuk
yang mengatur pola kehidupan yang seharusnya dilaksanakan umat islam dan umat
manusia.
Tujuan
pendidikan menurut Ibnu Khaldun adalah untuk membuat kaum muslimin percaya dan
meyakini Tuhan melalui mempelajari Al-Quran dan ilmu pengetahuan keagamaan.
Ilmu pengetahuan yang berkenaan dengan keyakinan dan hukum islam akan membuat
kaum muslimin mengetahui realitas yang diarahkan pada upaya mendapatkan akhlak
dan tingkah laku yang baik. Dengan demikian ilmu pengetahuan islam dan tujuan
hidupnya akan sejalan dengan ajaran islam dan akan menolongnya untuk menjadi
muslim yang baik dan anggota masyarakat yang baik pula.[1]
B.
Rumusan Masalah
1.
Bagaimana
riwayat Ibnu Khaldun selama hidupnya?
2.
Bagaimana
konsep pendidikan yang telah dikemukaan Ibnu Khaldun?
C.
Tujuan
1.
Mahasiswa mampu
menjelaskan riwayat Ibnu Khaldun selama hidupnya.
2.
Mahasiswa mampu
menjelaskan konsep pendidikan yang telah dikemukakan Ibnu Khaldun.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Riwayat Hidup
Ibnu Khaldun
Abdur
Rahman Ibnu Khaldun dilahirkan di Tunis pada tanggal 27 Mei tahun 1332.Ia
adalah keturunan Banu Khaldun dari Spanyol yang kemudian pindah ke Tunis. Ibnu
Khaldun memulai pendidikannya dengan belajar Al Quran.Ia termasuk orang yang
beruntung dalam memperoleh pendidikan dasar yang dilakukan guru terkenal di
Tunis. Ia menunjukkan perhatiannya pada masalah hukum, adat istiadat, bahasa,
tata bahasa, dan syair. Ia kemudian mempelajari logika, filsafat, teologi, dan
ilmu pengetahuan islam lainnya. Setelah mencapai usia 21 tahun ia bekerja
sebagai pegawai pada kerajaan Tunis, namun ia meningglakan pekerjaan tersebut.
Pada tahun 1354 ia diundang ke Fez untuk menjadi tenaga sekretaris pada Abu Enam,
tetapi setelah beberapa tahun ia meningglakan pekerjaan tersebut.[2]
Selanjutnya
pada tahun 1362, Ibnu Khaldun menyeberang ke Spanyol dan bekerja pada raja
Granada. Di Granada ia menjadi utusan raja untuk berunding dengan Pedro, raja
Granada, Raja Castila, sedangkan di Sevilla, karena kecakapannya yang luar
biasa, ia ditawari bekerja oleh penguasa Kristen itu. Sebagai imbalannya,
tanah-tanah bekas keluarganya dikembalikan kepada Ibnu Khaldun, tetapi Ibnu
Khaldun memilih tawaran yang sama dari raja Granada. Kesanalah ia memboyong
keluarganya dari Afrika.[3]
Ketenangan
hidup baruia jumpai setelah melepaskan semua jabatan resminya. Dan pada waktu
itulah menciptakan karyanya yang monumental, yaitu Muqoddimad dan sejarah
Alam Semesta. Setelah itu ia kembali ke Tunisia. Tetapi oleh karena iamenghadapi masalah yang sama seperti yang dialami di
Granada, maka ia memutuskan diri untuk naik haji. Dan pada tahun 1382 M, ia
pergi ke Iskandariah. Tetapi dalam perjalanan hajinya ia singgah di Mesir. Di
daerah ini ia ditawari jabatan guru kemudian ketua Mahkamah Agung di bawah
pemerintahan Dinasti Mamluk.[4]Ia
memegang jabatan tersebut sampai wafat pada tahun 1406.
Karya
tulis Ibnu Khaldun banyak macamnya antara lain ilmu mantiq dan ringkasan
filsafat Ibnu Rusyd, juga mengarang tentang fikih, matematika, kesusastraan
Arab, sejarah ilmu hitung.[5]Ibnu
Khaldun dikenal melalui karyanya Muqaddima yang ia tulis sebagai
pengantar terhardap bukunya yang disebutkan di atas. Muqaddima berisi
cara penyususan filsafat dan sejarah. Selain itu kitab itu juga berisi
pandangan-pandangan mengenai berbagai aspek yang berkaitan dengan negara dan
masyarakat termasuk penjelasan secara mendetail tentang pendidikan.[6]
Hal ini terlihat antara lain terlihat dari pengalamannya sebagai guru yang
berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat lainnya.[7]
B.
Pandangan Ibnu
Khaldun Tentang Pendidikan
- . Tinjauan Pendidikan Secara Umum
Ibnu Khaldun berpendapat bahwa tidak cukup bagi seorang guru hanya
membekali anak dengan ilmu pengetahuan saja agar mereka menjadi orang yang
berilmu pengetahuan yang menambah pengetahuannya dalam belajar. Akan tetapi
juga guru wajib memperbaiki metode dalam penyajian ilmu kepada anak didiknya,
dan hal ini tidak akan menjadi sempurna kecuali dengan lebih dahulu mempelajari
hidup kejiwaan anak dan mengetahui tingkat-tingkat kematangannya serta
bakat-bakat ilmiahnya, sehingga ia mampu menerapkan sesuai dengan tingkat
pikiran mereka. Dengan cara demikian terjalinlah hubungan antara guru dengan
anak muridnya.[8]
Ibnu Khaldun menetapkan bahwa metode mengajar sebaiknya harus
diterapkan dalam proses mengajarkan materi ilmu pengetahuan atau mengikutinya,
karena dipandang pengajaran tidak akan sempurna kecuali harus dengan metode
itu. Maka seolah-olah metode dan materi merupakan satu kesatuan, padahal ia
bukanlah bagian dari materi pelajaran, yang bukti-biktinya ditunjukkan dengan
adanya kenyataan bahwa di kalangan tokoh pendidikan terdapat metode-metode yang
berbeda.[9]
Dapat dikatakan bahwa Ibnu Khaldun sebagai pendidik yang
berkemampuan mengajar berpendapat bahwa kedayaguanaan metode yang dapat
digunakan untuk menyampaikan pengetahuan kepada murid bergantung kepada sejauh
mana kematangan persiapan guru dalam mempelajari kejiwaan anak
didiknya.Sehingga diketahui sejauh mana kematanagan kesiapan mereka dan
bakat-bakat ilmiahnya.[10]
Pada bagian lain, Ibnu Khaldun berpendapt bahwa dalam proses
belajar atau menurut ilmu pengetahuan manusia disamping harus sungguh-sungguh juga
harus memiliki bakat. Menurutnya dalam mencapai ilmu pengetahuan yang bermacam-macam
itu seseorang tidak hanya membutuhkan ketekunan, tetapi juga bakat.Berhasilnya
suatu keahlian dalam suatu bidang ilmu atau disiplin memerlukan pengajaran.[11]
Pendidikan menurut Ibnu Khaldun bukan hanya terdiri dari ilmu yang
digunakan dalam kehidupan namun juga terdiri dari metode yang berfungsi sebagai
tehnik dalam penyampaian ilmu tersebut.Orang yang berilmu belum tentu bisa
mengajarkan ilmunya dengan maksimal dan seharusnya didukung dengan
metode-metode dalam menyampiakannya.Karena ilmu dan metode pengajaran merupakan
satu kesatuan yang tidak boleh terpisahkan demi terbentuknya pendidikan yang
unggul.
Ibnu Khaldun percaya bahwa upaya mencapai dan memiliki ilmu
pengetahuan adalah kebutuhan pokok kehidupan manusia, karena mansuia mempunyai kemampuan
berfikir dan bernalar. Selanjutnya ia percaya bahwa relaitas harus diketahui
melalui wahyu dan bukan melaluiusaha penalaran intelektual sebagaimana yang
demikian itu diyakini oleh para filosof .dengan demikian kondisi yang pertama
untuk mengetahui relaitas bagi kaum muslimin adalah Al-Quran dan Nabi Muhammad
SAW. Inilah filsafat ilmu pendidikan Ibnu Khaldun yang terpenting.Ia
mengemukakan masalah tersebut dalam dimensi sosiologi dan menghubungkan
pendidikan dengan situasi masyarakat islam.[12]
Al-Quran adalah satu-satunya kebenaran yang hak yang menjadi acuan
dalam berkehidupan.Serta hadis Nabi Muhammad yang menjadi pemandu kebenaran
Al-Quran dalam penyampiannya kepada manusia dan digunakan sebagai penjelas
Al-Quran.Kedua sumber ilmu pengetahuan tersebut secara tekstual isinya
menggunakan bahasa dan kondisi kehidupan pada zaman dimana diturunkannya ilmu
tersebut.Sedangkan secara kontekstual, dapat digunakan pada zaman serba modern
sekarang ini.Hal tersebut juga berlaku pada konsep pendidikan yang terus perlu
dikembangkan agar dapat menjadikan manusia bukan sekedar intelektualnya saja
yang menjadi pertimbangan namun akhlak juga termasuk prioritas utama.
- 2 Pandangan Tentang Ilmu
Dalam kitab al-muqaddimah ibnu khaldun menjelaskan tentang
klasifikasi ilmu secara umum
إِعْلَمُ اَنَّ العُلُوْمَ الَّتِي يَخُوْضُ فِيْهَا البَشَرُ وَ يَتَدَاوَلُوْنَهَا
فِي الْاَمْصَارِ تَحْصِيْلاً وَتَعْلِيْمًا هِيَ عَلَى صِنْفَيْنِ, صِنْفٍ طَبِيْعِيٍّ
لِلْإنْسَانِ يَهْتَدِي إِلَيْهِ بِفِكْرِهِ. وَ صِنْفٍ نَقْلِيٍّ يَأْخُذُهُ عَمَّنْ
وَضَعَهُ.
Maksud dari penjelasan di atas adalah bahwa ilmu yang mendasari
setiap manusia ada dua macam yakni ilmu aqli dan ilmu naqli.
Berkenaan dengan ilmu pengetahuan, Ibnu Khaldun membaginya menjadi
tiga macam, yaitu:[13]
a.
Ilmu lisan
(bahasa) yaitu tentang tata bahasa (gramatika), sastra atau bahasa yang
tersusun secara puitis (sya’ir).
b.
Ilmu naqli,
yaitu lmu yang diambil dari kitab suci dan sunnah nabi. Ilmu ini berupa membaca
kitab suci Al-Quran dan tafsirnya, sanad dan hadis pentashihannya serta
istinbat tentang kaidah-kaidah fiqih. Dengan ilmu ini manusia akan dapat
mengetahui hukum-hukum Allah yang diwajibkan kepada manusia. Dari Al-Quran
inilah didapati ilmu-ilmu tafsir, ilmu ushul fiqih yang dipakai untuk
menganalisa hukum-hukum Allah itu melalui cara istinbat.
c.
Ilmu ‘aqli,
yaitu ilmu yang dapat menunjukkan manusia dengan daya fikir dan
kecenderungannya kepada filsafat dan semua ilmu pengetahuan. Termasuk di dalam
kategori ini adalah ilmu mantiq (logika), ilmu alam, ilmu ketuhanan, ilmu teknik,
ilmu hitung, ilmu tingkah laku manusia, termasuk juga I,mu sihir, dan ilmu
nujum (perbintangan). Mengenai ilmu nujum, Ibnu Khaldun menganggapnya sebagai
ilmu yang fasid karena ilmu dapat dipergunakan untuk meramalkan segala kejadian
sebelum terjadi atas perbintangan. Hal ini merupakan sesuatu yang bathil,
berlawanan dengan ilmu tauhid yang menegaskan bahwa tidak ada yang menciptakan
kecuali Allah sendiri.
Diantara ilmu tersebut ada yang harus diajarkan kepada anak didik,
yaitu:[14]
a.
Ilmu syariah
dengan segala jenisnya.
b.
Ilmu filsafat
seperti ilmu alam dan ilmu ketuhanan.
c.
Ilmu alat yang
membantu ilm agama seperti ilmu bahasa, gramatika, dan sebagainya.
d.
Ilmu alat yang
membantu ilmu falsafah seperti ilmu mantiq.
Selain itu Ibnu Khaldun berpendapat bahwa Al-Quran adalah ilmu yang
pertama kali harus diajarkan kepada anak, karena mengajarkan Al-Quran kepada
anak-anak termasuk syariat islam yang dipegang teguh oleh para ahli agama dan
dijunjung tinggi oleh setiap negara islam. Al-Quran yang telah ditanamkan pada
anak didik akan menjadi pegangan hidupnya karena pengajaran pada masa
kanak-kanak masih mudah, karena otak si anak masih jernih.[15]
- 3. Tujuan Pendidikan
Menurut Ibnu Khaldun, tujuan pendidikan beraneka ragam dan bersifat
universal. Diantara tujuan pendidikan tersebut adalah:
a.
Tujuan
peningkatan pemikiran[16]
Ibnu
khaldun memandang bahwa: salah satu tujuan pendidkan adalah memberikan
kesempatan kepada akal untuk lebih giat dan melakukan aktivitas. Hal ini dapat
dilakukan melalui proses menuntut ilmu dan keterampilan. Dengan menuntut ilmu
dan ketrampilan, seseorang akan dapat meningkatkan kegiatan potensi akalnya.
Disamping itu, melalui potensinya, akal akan mendorong manusia untuk memperoleh
dan melestarikan pengetahuan. Melalui proses belajar, manusia senantiasa
mencoba meneliti pengetahuan-pengetahuan atau informasi-informasi yang
diperoleh oleh pendahulunya. Manusia mengumpulkan fakta-fakta dan
menginventarisasikan keterampilan-keterampilan yang dikuasainya untuk memperoleh
lebih banyak warisan pengetahuan yang semakin meningkat sepanjang masa sebagai
hasil dari aktifitas akal manusia.
Atas
pemikiran tersebut, maka tujuan pendidikan menurut Ibnu Khaldun adalah
peningkatan kecerdasan manusia dan kemampuannya berfikir. Dengan kemampuan
tersebut, manusia akan dapat meningkatkan pengetahuannya dengan cara memperoleh
lebih banyak warisan pengetahuan pada saat belajar.
b.
Tujuan
peningkatan kemasyarakatan
Dari
segi peningkatan kemasyarakatan, Ibnu Khaldun berpendapat bahwa ilmu dan
pengajaran adalah lumrah bagi peradaban manusia.Ilmu dan pengajaran sangat
diperlukan untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat manusia kearah yang lebih
baik. Semakin dinamis budaya suatu masyarakat, maka akan semakin bermutu dan
dinamis pula keterampilan di masyarakat tersebut. Untuk itu, manusia seyogyanya
senantiasa berusaha memperoleh ilmu dan
keterampilan sebanyak mungkin sebagai salah satu cara membantunya untuk dapat
hidup dengan baik dalam masyarakat yang dinamis dan berbudaya. Jadi, eksistensi
pendidikan menurutnya merupakan satu sarana yang dapat membantu individu dan
masyarakat menuju kemajuan dan kecemerlangan.Disamping bertujuan meningkatkan
segi kemasyarakatan manusia, pendidikan juga bertujuan mendorong terciptanya
tatanan kehidupan masyarakat kearah yang lebih baik.
c.
Tujuan
pendidikan dari segi kerohanian adalah dengan meningkatkan kerohanian manusia
denagn menjalankan praktek ibadah, dzikir, halwat (menyendiri) dan mengasingkan
diri dari khalayak ramai sedapat mungkin untuk tujuan ibadah sebagaimana yang
dilakukan oleh para sufi.[17]
- 4. Metode Pengajaran
a.
Metode
pentahapan dan pengulangan (Tadarruj Wat
Tikraari)
Pengajaran
yang efektif menurut ibnu khaldun harus dicapai setahap demi setahap.[18]
Menurut beliau mengajar anak-anak/remaja hendaknya didasarkan atas
prinsip-prinsip pandangan bahwa tahap permulaan pengetahuan adalah bersifat
total (keseluruhan), kemudian secara bertahap, baru terperinci, sehingga anak
dapat menerima dan memahami permasalahan pada tiap bagian dari ilmu yang
diajarkan dengan tingkat penjelasan yang mudah dimengerti oleh peserta didik
agar tidak terjadi kesulitan dalam memahami ilmu yang disampaikan, agar peserta
didik dapat mencerna ilmu tersebut degan baik dan keseluruhan.
Kemudian guru mengulang lagi ilmu
yang diajarkan itu agar anak-anak meningkat daya pemahamannyasampai ketahap yang
tertinggi melalui uraian dan pembuktian yang jelas sehingga tidak ada lagi
keraguan dalam memahami ilmu tersebut.
b.
Menggunakan
Sarana Tertentu Untuk Menjabarkan Pelajaran
Menurut
ibnu khaldun penggunaan alat-alat peraga sangatlah penting untuk menunjang
tingkat pemahaman seorang siswa atau peserta didik, karena seorang anak pada
waktu mulai belajar permulaanya lemah dalam memahami dan kurang daya
pengamatnya.Dan hal inilah yang ditekankan oleh beliau, karena memang anak
didik bergantung pada panca indranya dalam proses penyusunan
pengalamannya.
Dalam
kegiatan belajar mengajar alat-alat peraga tersebut merupakan sarana pembuka
cakrawala yang lebih luas, disamping itu juga alat peraga ini menjadikan
pengetahuan anak bersentuhan dengan pengalaman indrawi yang hakiki.[19]
Inti
dari makna yang terkandung di dalam metode ini yaitu lebih memudahkan anak untuk memahami pelajaran dan mengurangi kesalahan
daya penerimaan ilmu yang diajarkan serta memperkecil pemahaman yang buruk, dan
sebagainya.
c.
Widya-Wisata
Merupakan Alat Untuk Mendapatkan Pengalaman Yang Langsung
Ibnu
Khaldun mendorong agar melakukan perlawatan
untuk menuntut ilmu karena dengan cara ini murid-murid akan mudah
mendapat sumber-sumber pengetahuan yang banyak sesuai dengan tabiat eksploratif
anak, dan pengetahuan mereka berdasarkan observasi lansung itu berpengaruh
besar dalam memperjelas pemahamannya terhadap pengetahuan lewat pengalaman
indrawinya.
Begitu
pentingnya metode ini bagi anak didik untuk mendapatkan ilmu secara Realsehingga beliau mengatakan: “ Sesungguhnya melakukan perlawatan untuk
menuntut ilmu dan menjumpai para ahli ilmu pengetahuan dan tokoh-tokoh ilmu dan
tokoh pendidikan, menambah kesempurnaan ilmu mereka, sebab banyak orang menimba
pengetahuan dan akhlak serta aliran paham yang dianut serta keutamaan-keutamaan
mereka; kadangkala dengan cara menukil ilmu, mempelajari atau menerima kuliah,
dan kadang kala dengan cara meniru dan belajar melalui pergaulan dengan mereka.
Sedangkan keberhasilan mendapatkan pengetahuan dengan bergaul dan menerima
pelajaran akan lebih mendalam dan lebih kuat kesannya dari pada cara lain,
apalagi melalui banyak guru yang ilmunya bermacam-macam.”[20]
Yang
dimaksud perlawatan (rihlah) menurut
beliau adalah perjalanan menemui guru-guru yang mempunyai keahlian khusus, dan
belajar kepada para tokoh ulama dan ilmuwan terkenal. Metode perlawatan yang
diajarkan oleh ibnu Khaldun juga telah dijelaskan dalam Firman Allah surah:
Ar-Rum ayat 42 :
Artinya:
Katakanlah: Adakanlah perjalanan kamu di atas bumi, maka lihatlah, bagaimana
akibatnya orang-orang yang (hidup) sebelumnya…...(Ar-Rum:42).
d.
Tidak
Memberikan Presentasi Yang Rumit Kepada Anak Yang Baru Belajar Permulaan.
Ibnu
Khaldun mengajarkan hendaknya jangan mengajarkan anak-anak dengan definisi-definisi,
dan kaidah-kaidah ilmu pengetahuan, khususnya pada permulaan belajar akan
tetapi seharusnya guru memulai dengan memberikan contoh-contoh yang mudah dan
membahas nash-nash serta mengistinbathkan (mengambil kesimpulan) yang khusus.
Pemahaman anak terhadap pengertian kaidah dan norma-norma serta
definisi-definisi berarti menghadapkan anak kepada kaidah-kaidah ilmu yang
bersifat menyeluruh dan menghadapkan anak kepada permasalahan (problema) ilmu
secara sekaligus.[21]
Hal
ini jelas belum dapat dimengerti oleh anak karena usianya yang belum matang,
dan juga karena hal itu akan menyebabkan akal pikirannya dibebani dengan
kesulitan dan rasa malas, bahkan memperkecil daya pikirnya yang akan berakhir
pada apa yang dinamakan “kelumpuhan akademis”. Hal demikian akan mengakibatkan
anak lari dari ilmu dan membencinya. Hal ini dikarenakan metode pengajaran yang
tidak tepat dan kurang memperhatikan kondisi anak didik terlebih dahulu.
e.
Harus Ada
Keterkaitan Dalam Disiplin Ilmu.
Ibnu
Khaldun mendorong agar guru dalam mengajarkan ilmu kepada muridnya mengaitkan
dengan ilmu lain, (jangan terpisah-pisah). Karena memisah-misahkan ilmu satu
sama lain menyebabkan kelupaan; hal ini diperkuat dengan uraian diatas tentang
perlunya mengajar dengan pengulangan sampai tiga kali tanpa terpisah-pisah atau
terputus-putus, agar memudahkan orang tidak lupa.
Sejalan
dengan pandangan beliau adalah tentang pembahasan mengenai bahasa Arab pada
zaman sekarang, dianjurkan agar diajarkan kitab-kitab mutolaah yang menyajikan
topic pembahasan satu macam dalam beberapa pertemuan yang berturut-turut dengan
menggalakkan keinginan untuk menserasikan dan menganalisa isi kitab dengan
mengaitkan antara satu sama lain kedalam jiwa anak.
Menurut
ibnu Khaldun ilmu adalah penguasaan dan penguasaaan ilmu itu tidaklah tetap
keadaannya kuat kemampuannya kecuali dengan mempraktikkan terus-menerus atau
mengulang-ulanginya. Jika dalam waktu lama tidak dipraktekkan maka penalaran
akan terlu]pakan dan guru juga melupakannya, serta kemampuan murid untuk
menguasai mata pelajaran tersebut juga mengalami kepunahan.
f.
Tidak
Mencampuradukkan Antara Dua Ilmu Pengetahuan Dalam Satu Waktu.
Ibnu
Khaldun menganjurkan agar guru tidak mengajarkan dua ilmu dalam satu waktu
kepada muridnya karena sebelum memperoleh salah satu ilmu, akan mengakibatkan
terpecahnya konsentrasi pikiran dan melepaskan ilmu yang lainnya untuk memahami
problematika yang lain. Hal ini mengakibatkan kerugian dan kesulitan. Jika ia
telah menyelesaikan satu ilmu, maka ilmu itu menjadi sarana yang dapat menciptakan
keberhasilan memecahkan dan memahami problema-problemanya.
Pandangan
beliau tersebut menunjukkan bahwa takhassus ilmu itu penting;karena tak mungkin
orang menguasai seluruh rahasia ilmu dari sekian banyak ilmu dan memahami
detail-detailnya tanpa menuntaskan studi ilmu itu. Begitu juga pendapat beliau,
bahwa tak mungkin mengajar anak dengan problema-problema dari dua macam ilmu
yang berbeda.
Menurut
pemakalah pemikiran Ibnu Khaldun yang menyarankan agar seorang guru mengajar
hanya satu ilmu saja kepada peserta didik hingga ia menguasainya setelah itu
barulah seorang peserta didik mempelajari ilmu lainnya sehingga tidak
mengganggu konsentrasi belajarnya. Hal ini berbeda dengan pendidikan modern
pada saat ini, dimana seorang peserta didik dianjurkan untuk mempelajari lebih
dari satu ilmu agar memiliki pengetahuan yang lebih luas dan bervariasi.
Namun
Ibnu Khaldun secara tegas menekankan bahwa pola pendidikan anak harus
didasarkan pada proses belajar satu macam ilmu saja, dan jika satu macam ilmu
telah dipahami benar baru beralih ke ilmu lain.
g.
Tidak Mendidik
Anak Dengan Jalan Kekerasan.
Dalam
kitab Al-Muqaddimah hal.619 pada pasal “kekerasan terhadap anak sangat
membahayakan”,[22]
Ibnu Khaldun menganjurkan agar bersikap kasih sayang kepada anak dan tidak
menggunakan kekerasan terhadap mereka, karena sikap kasar atau kekerasan dalam
mengajar membahayakan jasmani anak didik, jika anak diperlakukan secara kasar
dan keras, menjadi sempit hatinya, dan hilang kecerdasannya, bahkan ia akan
terdorong untuk berdusta, malas, dan berbuat kotor, dan saat itu anak tidak
dapat menyatakan apa yang tergetar dalam hati kecilnya, akhirnya rusaklah makna
kemanusiaan dalam dirinya sejak masa kanak-kanak.
Beliau
menganjurkan agar guru-guru, dan orang tua anak, tidak berlaku kejam dalam
mengajar dan mendidik anaknya. Kata beliau: “Di antara mazhab yang paling baik
dalam pendidikan/pengajaran ialah seperti yang dilukiskan oleh Harun Al-Rasyid
dalam wasiatnya kepada pendidik putranya Al-Amin, yang bernama Abul Hasan Ali
bin Hamzah al-Kissai. Wasiatnya berdasarkan atas 2 macam prinsip.Prinsip
pertama; langkah-langkah mengajar yang dianjurkan oleh Harun Al-Rasyid untuk
anaknya’Al-Amin, dan prinsip Kedua ialah metode praktis yang harus dipergunakan
dalam prosedur mengajar dan mendidik anaknya.
Apa
yang diwasiatkan oleh Al-Rasyid menjelaskan tentang prinsip hukuman sebagai
alat mendidik yang penting. Akan tetapi jangan dilakukan oleh pendidik kecuali
dalam keadaan terpaksa karena tidak ada jalan lain sesudah semua cara lemah lembut
tak berhasil.[23]
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Abdur Rahman
Ibnu Khaldun adalah salah satu tokoh islam yang terkenal pada zaman pertengahan.
Banyak pemikiran-pemikiran yang beliau sumbangkan dalam dunia pendidikan maupun
sejarah dan ilmu-ilmu lainnya, sehingga beliau terkenal dengan tokoh yang
cerdas dan berpendidikan.
Hal ini
terbukti dengan banyaknya karya-karya beliau yang telah tersebar diantaranya
karya-karya beliau yang masyhur yaitu Muqoddimahdan sejarah Alam
Semesta.
Ibnu Khaldun memberikan
pemikirannya tentang tujuan pendidikan yaitu untuk membuat kaum muslimin
percaya dan meyakini Tuhan melalui mempelajari Al-Quran dan ilmu pengetahuan
keagamaan. Ilmu pengetahuan yang berkenaan dengan keyakinan dan hukum islam
akan membuat kaum muslimin mengetahui realitas yang diarahkan pada upaya mendapatkan
akhlak dan tingkah laku yang baik. Dengan demikian ilmu pengetahuan islam dan
tujuan hidupnya akan sejalan dengan ajaran islam dan akan menolongnya untuk
menjadi muslim yang baik dan anggota masyarakat yang baik pula.
Ibnu Khaldun
juga berpendapat bahwa tidak cukup bagi seorang guru hanya membekali anak
dengan ilmu pengetahuan saja agar mereka menjadi orang yang berilmu pengetahuan
yang menambah pengetahuannya dalam belajar.Namun, anak didik perlu juga
dibekali dengan beberapa metode dalam panyampian ilmu tersebut.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Abrasyi, Muhammad Athiyah.Beberapa
Pemikiran Pendidikan Islam.Yogyakarta: Titihan Ilahi,1996.
Al-Jumbulati, Ali dan Abdul Futuh At-Tuwaanisi.Perbandingan
Pendidikan Islam. Jakarta: PT RINEKA CIPTA, 1994.
Alavi, S. M. Zianuddin.Pemikiran Pendidikan Islam pada Abad
Klasik dan Pertengahan.Bandung: Angkasa, 2003.
Nata, Abuddin.Filsafat Pendidikan Islam.Jakarta: Gaya Media
Pratama, 2005.
Ramayulis dan Samsul Nizar.Filsafat
Pendidikan Islam. Jakarta: KALAM MULIA, 2011.
[1] S. M.
Zianuddin Alavi, Pemikiran Pendidikan Islam pada Abad Klasik dan Pertengaha,
(Bandung: Angkasa, 2003), 72.
[2]Ibid., 69-70.
[3] Abuddin Nata, Filsafat
Pendidikan Islam (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2005), 222.
[4]Ibid., 222-223..
[5]Ali
Al-Jumbulati dan Abdul Futuh At-Tuwaanisi, Perbandingan Pendidikan Islam,
(Jakarta: PT RINEKA CIPTA, 1994), 192.
[6] S. M.
Zianuddin Alavi, Pemikiran Pendidikan Islam pada Abad Klasik dan Pertengaha,
(Bandung: Angkasa, 2003), 70.
[7] Abuddin Nata, Filsafat
Pendidikan Islam, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2005), 223.
[8]Ali
Al-Jumbulati dan Abdul Futuh At-Tuwaanisi, Perbandingan Pendidikan Islam,
(Jakarta: PT RINEKA CIPTA, 1994), 195-196.
[9]Ibid., 196.
[10]Ibid., 196.
[11] Abuddin Nata, Filsafat
Pendidikan Islam, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2005), 224-225.
[12] S. M.
Zianuddin Alavi, Pemikiran Pendidikan Islam pada Abad Klasik dan Pertengaha,
(Bandung: Angkasa, 2003), 72.
[13] Abuddin Nata, Filsafat
Pendidikan Islam, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2005), 225-226.
[14]Ibid., 226.
[15]Ibid., 226.
[16]Ramayulis dan Samsul
Nizar, Filsafat Pendidikan Islam,
(Jakarta: KALAM MULIA, 2011),283.
[17]Ibid., 284.
[18] S.M. Zainuddin
Alavi, Pemikiran Pendidikan Islam Pada
Abad Klasik Dan Pertengahan, (Bandung: Angkasa,2003), 75.
[19] Ali Al
Jumbulati, Perbandingan Pendidikan ISLAM,
(Jakarta: Rineka Cipta, 1994), 201.
[20]Ibid., 202
[21]Ibid.,203.
[22] Muhammad
Athiyah Al-Abrasyi, Beberapa Pemikiran
Pendidikan Islam, (Yogyakarta: Titihan Ilahi,1996), 108.
[23] Ali Al
Jumbulati, Perbandingan Pendidikan ISLAM,
(Jakarta: Rineka Cipta, 1994), 210.